Entri yang Diunggulkan

RELASI NEGARA DAN HUKUM ISLAM

Prawacana; Setelah membaca tulisan ini diharapkan mahasiswa dapat:       Mengetahui dan memahami pemikirankenegaraan Perspektif I...

Jumat, 13 Juli 2012

KHILAFAH MENURUT IBNU KHALDUN


 
Ibnu Khaldun
[1]Nama lengkapnya Abd al-Rahman bin Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abd al-Rahman bin Khaldun. (732 H.=1332 M.-808 H.=1406 M.). Pemikiran politiknya tentang hadis-hadis kepemimpinan Quraisy terdapat dalam karya besarnya Muqaddimah Ibnu Khaldun.
Menurut Ibnu Khaldun, pemimpin tertinggi (khalifah) harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: Pertama, pengetahuan, kedua, keadilan, ketiga, kesanggupan, dan kempat, kebebasan panca indera dan anggota badan dari cacat yang dapat berpengaruh terhadap pendapat dan tindakan. Kemudian persyaratan yang kelima, yaitu keturunan Quraisy.[1]
Ibnu Kahldun kemudian menjelaskan kelima syarat tersebut. Syarat pertama, yaitu pengetahuan yang menurutnya sudah cukup jelas. Seorang pemimpin (khalifah) hanya akan dapat melaksanakan hukum-hukum Allah apabila dia menguasai hukum-hukum itu. Sesuatu yang tidak diketahuinya, tentu tidak dapat dikemukakannya secara tepat. Pengetahuannya baru akan memuaskan apabila ia mampu mengambil keputusan secara bebas (mujtahid). Taqlid buta menurut Ibnu Khaldun merupakan suatu kekurangan.[2]
Syarat kedua diperlukan karena kekhalifahan menurut Ibnu Khaldun merupakan lembaga keagamaan yang mengawasi lembaga lain. Karena itu, khalifah haruslah seorang yang adil.[3]
Kemudian untuk syarat ketiga Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa seorang khalifah harus bersedia melaksanakan hukum yang ditetapkan undang-undang dan siap pergi berperang. Lebih lanjut khalifah harus mengerti cara berperang, dan sanggup mengemban tanggung jawab untuk mengerahkan umat menuju peperangan. Kemudian kesanggupan juga berarti khalifah harus tahu tentang solidaritas sosial (ashobiyah) dan diplomasi serta harus cukup kuat untuk melaksanakan tugas politik. Semua itu kata Ibnu Khaldun harus dimiliki oleh seorang khalifah, agar ia mampu melaksanakan fungsinya dalam melindungi agama, berjihad melawan musuh, menegakkan hukum dan mengatur kepentingan umum.[4]
Adapun disyaratkannya kebebasan pancaindera dan anggota badan dari cacat yang dapat berpengaruh terhadap pendapat dan tindakan, karena kebebasan bertindak menurut Ibnu Khaldun erat hubungannya dengan cacat badan.[5]
Selanjutnya persyaratan keturunan Quraisy yang menjadi fokus pembahasan ini, menurut Ibnu Khaldun didasarkan kepada ijmak para sahabat pada hari Saqifah Bani Sa’idah yang bersejarah itu. Ia menguraikan bahwa pada hari itu kaum Anshar bermaksud membai’at pemimpin dari kalangan mereka, yaitu Sa’ad ibnu ‘Ubadah, dan mempersilahkan kaum Quraisy untuk memilih pemimpin juga dari kalangan Quraisy.
Pendapat tersebut ditentang kalangan Quraisy dengan mengutip ucapan Nabi yang mewasiatkan bahwa pemimpin itu dari kalangan Quraisy dan supaya mereka semua berbuat baik kepada kaum Anshar. Kemudian menurut Ibnu Khaldun orang-orang Quraisy yang ada ketika itu mengatakan, jika kepemimpinan harus diberikan kepada kaum Anshar, tentu yang belakangan ini tidak akan diwasiatkan Nabi supaya dijaga oleh kaum Quraisy, sebagaimana ucapan Nabi di atas.
Argumentasi tersebut diterima oleh kaum Anshar dan mereka menarik kembali pernyataan mereka di atas. Kemudian kembali kepada hadis yang menurut Ibnu Khaldun berkualitas sahih[6] yang artinya: “perkara ini (kepemimpinan) akan selalu tetap berada di tangan kaum Quraisy”.[7]
Ibnu Khaldun tampak sangat kuat berpegang pada hadis al-Aimmatu Min Quraisy tersebut di atas. Hal ini tampak saat ia mengomentari kelompok yang mempergunakan hadis -“Dengar dan patuhlah, meskipun seorang budak Habsyi yang Hitam pekat yang menjadi kepala pemerintahanmu”-[8] sebagai argumentasi penolakan mereka terhadap kequraisyan sebagai syarat kekhalifahan. Dalam hal ini ia berargumentasi bahwa pernyataan ini tidak dapat dijadikan alasan bagi persoalan yang diperbincangkan. Sebab hadis tersebut hanyalah merupakan suatu tamsil hipotetis yang secara mubalagah dimaksudkan untuk menekankan pentingnya arti wajib taat itu.[9] Dengan demikian, terlihat bahwa Ibnu Khaldun mempergunakan metode al-jam’u (pengkompromian) dari masing-masing makna hadis di atas, kemudian al-tarjih (memilih argumen yang terkuat di antara kedua hadis di atas).
Yang menarik pada pembahan ini adalah, walaupun Ibnu Khaldun masih menjadikan kequraisyan sebagai salah satu syarat kepemimpinan, tetapi ia tidak hanya berhenti sampai di situ. Sebagai kritikus tajam dan pembangun sosiologi ia berusaha untuk merasionalisasikan syarat kepemimpinan dari Quraisy yang berdasarkan kepada hadis yang dikutipnya di atas.
Menurutnya, semua hukum syariat harus memiliki maksud dan hikmah tertentu. Hikmah dijadikannya keturunan Quraisy sebagai prasyarat kekhalifahan dan tujuan yang dimaksud oleh si pemberi syari’at (Nabi Muhammad saw.) bukan hanya sekedar untuk washilah,[10] tetapi dibalik itu ada kemaslahatan umum, yaitu adanya ashobiyah atau solidaritas sosial yang dimiliki para pemimpin keturunan Quraisy. Solidaritas sosial itu kata Ibnu Khaldun memberikan perlindungan dan tuntutan, serta dapat melepaskan sang pemimpin dari oposisi dan perpecahan.[11]
Bagaimana kokohnya solidaritas sosial suku Quraisy dijelaskan Ibnu Khaldun sebagai berikut: Kaum Quraisy termasuk golongan suku Mudhar, cikal bakal suku Quraisy yang paling perkasa dibanding suku-suku Mudhar lainnya. Suku-suku Arab yang lain mengakui kenyataan itu, dan tunduk patuh pada kekuatan kaum Quraisy. Sekiranya kekuasaan diserahkan kepada pihak lain di luar mereka, pastilah pertentangan dan ketidaktaatan akan merusak segalanya. Tidak ada satu suku Mudhar pun yang akan sanggup menyelesaikan sikap oposisi, serta menarik mereka tanpa kemauan mereka sendiri. Jika demikian adanya, maka masyarakat Islam akan terpecah belah dan tidak ada lagi kesatuan pendapat. Padahal Nabi sebagai pembuat syari’at, telah memperingatkan pentingnya semua itu. Beliau menginginkan mereka bersatu, menghindari perpecahan dan kekacauan, demi terciptanya persaudaraan, solidaritas, dan membaiknya perlindungan.[12]
Oleh karena itu urai Ibnu Khaldun, apabila orang-orang Quraisy yang berkuasa, jelas kenyataan yang sebaliknya yang akan terjadi. Dengan kekuatan yang ada, mereka akan sanggup menyuruh manusia melakukan apa saja sekehendak mereka. Mereka tidak khawatir akan munculnya orang yang menentang mereka, atau kelak akan timbul perpecahan. Dengan kekuasaan yang ada, mereka sanggup melenyapkan perpecahan dan menyisihkan siapa saja dari sisinya.. Itulah sebabnya keturunan Quraisy dijadikan syarat bagi lembaga khilafah.[13]
Dengan demikian, dijadikannya suku Quraisy sebagai satu syarat dalam kekhalifahan dimaksudkan untuk melenyapkan perpecahan dengan bantuan solidaritas dan superioritas. Dan karena Nabi tidak membuat hukum khusus bagi suatu generasi, zaman atau bangsa tertentu, maka keturunan Quraisy dapat dimasukkan dalam kategori syarat kesanggupan, karena didukung adanya solidaritas sosial. Dan solidaritas sosial itu dianggap sebagai satu syarat yang urgen bagi seorang yang bertugas mengurusi persoalan kaum Muslimin. Hal ini agar ia tergolong orang yang kuat solidaritasnya, dan berada di atas solidaritas bangsa-bangsa lain yang semasa dengan mereka. Sehingga mereka dapat memaksa bangsa-bangsa itu bersatu demi kepentingan bersama. Kenyataan demikian tidak akan pernah ditemukan diseluruh pelosok dunia sebagaimana terjadi pada masa kekuasaan keturunan Quraisy.[14]
Setelah mengikuti uraian dan alur argumentasi yang dikemukakan Ibnu Khaldun di atas, maka dapat dikatakan bahwa hadis-hadis al-’Aimmatu min Quraisy dan sejenisnya dipahami Ibnu Khaldun secara simbolis, artinya jika suku Quraisy dalam keadaan tidak lagi merupakan suku yang paling berwibawa, dan solidaritas kelompoknya tidak lagi dominan, yang berarti pula pemimpin yang berasal dari suku Quraisy tidak lagi diharapkan mampu secara efektif mewujudkan ketertiban negara dan kerukunan antar warga negara, maka kepemimpinan dapat berpindah ke suku atau kelompok lain yang memiliki wibawa yang lebih besar dan solidaritas kelompok yang lebih kuat. Atau dengan istilah yang lebih sederhana bahwa kepemimpinan umat Islam bukan hak monopoli suku Quraisy secara tekstual, tetapi merupakan hak orang yang memiliki wibawa atau kelompok yang dominan atau suku dan bangsa yang mempunyai solidaritas kelompok yang kuat atau memiliki sifat, watak dan ciri-ciri kequraisyan.



[1]Lihat Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, t.th.), h. 204.
[2]Lihat Ibid.
[3]Lihat Ibid.
[4]Lihat Ibid.
[5]Lihat Ibid.
[6]Kriteria hadis sahih yang dipergunakan Ibnu Khaldun dalam menilai hadis kepemimpinan Quraisy ini kelihatannya lebih cenderung kepada kaedah kesahihan sanad hadis. Anggapan ini didasarkan atas kesan terhadap pernyataan Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa hadis ini saheh karena diriwayatkan oleh banyak periwayat hadis. Lihat Ibid., h. 205.

[7]Lihat Ibid.
[8]Teks Arabnya: اسمعوا واطيعوا ولو ولىكم عبد حبشي
[9]Lihat Ibid.
[10]Washilah itu mengandung arti hubungan keturunan dengan Nabi. Oleh sebab itu, washilah hanya bisa terjadi apabila seseorang itu memang keturunan Quraisy, karena Nabi sendiri memang berasal dari keturunan itu. Tetapi menurut Ibnu Khaldun, washilah yang demikian tidak diinginkan, karena di dalamnya terkandung unsur kebanggaan, sedangkan berbangga-bangga tidaklah merupakan tujuan syari’at.
[11]Lihat Ibid., h. 206.
[12]Lihat Ibid.
[13]Lihat Ibid., h. 207.
[14]Lihat Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar