Ibnu Khaldun
[1]Nama lengkapnya Abd al-Rahman bin Muhammad
bin Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abd al-Rahman bin
Khaldun. (732 H.=1332 M.-808 H.=1406 M.). Pemikiran politiknya tentang
hadis-hadis kepemimpinan Quraisy terdapat dalam karya besarnya Muqaddimah Ibnu
Khaldun.
Menurut Ibnu Khaldun, pemimpin tertinggi (khalifah)
harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: Pertama, pengetahuan, kedua,
keadilan, ketiga, kesanggupan, dan kempat, kebebasan panca indera
dan anggota badan dari cacat yang dapat berpengaruh terhadap pendapat dan
tindakan. Kemudian persyaratan yang kelima, yaitu keturunan Quraisy.[1]
Ibnu Kahldun kemudian menjelaskan kelima syarat
tersebut. Syarat pertama, yaitu pengetahuan yang menurutnya sudah cukup jelas.
Seorang pemimpin (khalifah) hanya akan dapat melaksanakan hukum-hukum
Allah apabila dia menguasai hukum-hukum itu. Sesuatu yang tidak diketahuinya,
tentu tidak dapat dikemukakannya secara tepat. Pengetahuannya baru akan
memuaskan apabila ia mampu mengambil keputusan secara bebas (mujtahid). Taqlid
buta menurut Ibnu Khaldun merupakan suatu kekurangan.[2]
Syarat kedua diperlukan karena kekhalifahan
menurut Ibnu Khaldun merupakan lembaga keagamaan yang mengawasi lembaga lain.
Karena itu, khalifah haruslah seorang yang adil.[3]
Kemudian untuk syarat ketiga Ibnu Khaldun
menjelaskan bahwa seorang khalifah harus bersedia melaksanakan hukum yang
ditetapkan undang-undang dan siap pergi berperang. Lebih lanjut khalifah harus
mengerti cara berperang, dan sanggup mengemban tanggung jawab untuk mengerahkan
umat menuju peperangan. Kemudian kesanggupan juga berarti khalifah harus tahu
tentang solidaritas sosial (ashobiyah) dan diplomasi serta harus cukup
kuat untuk melaksanakan tugas politik. Semua itu kata Ibnu Khaldun harus
dimiliki oleh seorang khalifah, agar ia mampu melaksanakan fungsinya dalam
melindungi agama, berjihad melawan musuh, menegakkan hukum dan mengatur
kepentingan umum.[4]
Adapun disyaratkannya kebebasan pancaindera dan
anggota badan dari cacat yang dapat berpengaruh terhadap pendapat dan tindakan,
karena kebebasan bertindak menurut Ibnu Khaldun erat hubungannya dengan cacat
badan.[5]
Selanjutnya persyaratan keturunan Quraisy yang
menjadi fokus pembahasan ini, menurut Ibnu Khaldun didasarkan kepada ijmak para
sahabat pada hari Saqifah Bani Sa’idah yang bersejarah itu. Ia menguraikan
bahwa pada hari itu kaum Anshar bermaksud membai’at pemimpin dari kalangan
mereka, yaitu Sa’ad ibnu ‘Ubadah, dan mempersilahkan kaum Quraisy untuk memilih
pemimpin juga dari kalangan Quraisy.
Pendapat tersebut ditentang kalangan Quraisy
dengan mengutip ucapan Nabi yang mewasiatkan bahwa pemimpin itu dari kalangan
Quraisy dan supaya mereka semua berbuat baik kepada kaum Anshar. Kemudian
menurut Ibnu Khaldun orang-orang Quraisy yang ada ketika itu mengatakan, jika
kepemimpinan harus diberikan kepada kaum Anshar, tentu yang belakangan ini
tidak akan diwasiatkan Nabi supaya dijaga oleh kaum Quraisy, sebagaimana ucapan
Nabi di atas.
Argumentasi tersebut diterima oleh kaum Anshar dan
mereka menarik kembali pernyataan mereka di atas. Kemudian kembali kepada hadis
yang menurut Ibnu Khaldun berkualitas sahih[6]
yang artinya: “perkara ini (kepemimpinan) akan selalu tetap berada di tangan
kaum Quraisy”.[7]
Ibnu Khaldun tampak sangat kuat berpegang pada
hadis al-Aimmatu Min Quraisy tersebut di atas. Hal ini tampak
saat ia mengomentari kelompok yang mempergunakan hadis -“Dengar dan
patuhlah, meskipun seorang budak Habsyi yang Hitam pekat yang menjadi kepala
pemerintahanmu”-[8]
sebagai argumentasi penolakan mereka terhadap kequraisyan sebagai syarat
kekhalifahan. Dalam hal ini ia berargumentasi bahwa pernyataan ini tidak dapat
dijadikan alasan bagi persoalan yang diperbincangkan. Sebab hadis
tersebut hanyalah merupakan suatu tamsil hipotetis yang secara mubalagah
dimaksudkan untuk menekankan pentingnya arti wajib taat itu.[9]
Dengan demikian, terlihat bahwa Ibnu Khaldun mempergunakan metode al-jam’u
(pengkompromian) dari masing-masing makna hadis di atas, kemudian al-tarjih
(memilih argumen yang terkuat di antara kedua hadis di atas).
Yang menarik pada pembahan ini adalah, walaupun
Ibnu Khaldun masih menjadikan kequraisyan sebagai salah satu syarat
kepemimpinan, tetapi ia tidak hanya berhenti sampai di situ. Sebagai kritikus
tajam dan pembangun sosiologi ia berusaha untuk merasionalisasikan syarat
kepemimpinan dari Quraisy yang berdasarkan kepada hadis yang dikutipnya
di atas.
Menurutnya, semua hukum syariat harus memiliki
maksud dan hikmah tertentu. Hikmah dijadikannya keturunan Quraisy sebagai prasyarat
kekhalifahan dan tujuan yang dimaksud oleh si pemberi syari’at (Nabi Muhammad
saw.) bukan hanya sekedar untuk washilah,[10]
tetapi dibalik itu ada kemaslahatan umum, yaitu adanya ashobiyah atau
solidaritas sosial yang dimiliki para pemimpin keturunan Quraisy. Solidaritas
sosial itu kata Ibnu Khaldun memberikan perlindungan dan tuntutan, serta dapat
melepaskan sang pemimpin dari oposisi dan perpecahan.[11]
Bagaimana kokohnya solidaritas sosial suku Quraisy
dijelaskan Ibnu Khaldun sebagai berikut: Kaum Quraisy termasuk golongan suku
Mudhar, cikal bakal suku Quraisy yang paling perkasa dibanding suku-suku Mudhar
lainnya. Suku-suku Arab yang lain mengakui kenyataan itu, dan tunduk patuh pada
kekuatan kaum Quraisy. Sekiranya kekuasaan diserahkan kepada pihak lain di luar
mereka, pastilah pertentangan dan ketidaktaatan akan merusak segalanya. Tidak
ada satu suku Mudhar pun yang akan sanggup menyelesaikan sikap oposisi, serta
menarik mereka tanpa kemauan mereka sendiri. Jika demikian adanya, maka
masyarakat Islam akan terpecah belah dan tidak ada lagi kesatuan pendapat.
Padahal Nabi sebagai pembuat syari’at, telah memperingatkan pentingnya semua
itu. Beliau menginginkan mereka bersatu, menghindari perpecahan dan kekacauan,
demi terciptanya persaudaraan, solidaritas, dan membaiknya perlindungan.[12]
Oleh karena itu urai Ibnu Khaldun, apabila
orang-orang Quraisy yang berkuasa, jelas kenyataan yang sebaliknya yang akan
terjadi. Dengan kekuatan yang ada, mereka akan sanggup menyuruh manusia
melakukan apa saja sekehendak mereka. Mereka tidak khawatir akan munculnya
orang yang menentang mereka, atau kelak akan timbul perpecahan. Dengan
kekuasaan yang ada, mereka sanggup melenyapkan perpecahan dan menyisihkan siapa
saja dari sisinya.. Itulah sebabnya keturunan Quraisy dijadikan syarat bagi
lembaga khilafah.[13]
Dengan demikian, dijadikannya suku Quraisy sebagai
satu syarat dalam kekhalifahan dimaksudkan untuk melenyapkan perpecahan dengan
bantuan solidaritas dan superioritas. Dan karena Nabi tidak membuat hukum
khusus bagi suatu generasi, zaman atau bangsa tertentu, maka keturunan Quraisy
dapat dimasukkan dalam kategori syarat kesanggupan, karena didukung adanya
solidaritas sosial. Dan solidaritas sosial itu dianggap sebagai satu syarat
yang urgen bagi seorang yang bertugas mengurusi persoalan kaum Muslimin. Hal
ini agar ia tergolong orang yang kuat solidaritasnya, dan berada di atas
solidaritas bangsa-bangsa lain yang semasa dengan mereka. Sehingga mereka dapat
memaksa bangsa-bangsa itu bersatu demi kepentingan bersama. Kenyataan demikian
tidak akan pernah ditemukan diseluruh pelosok dunia sebagaimana terjadi pada
masa kekuasaan keturunan Quraisy.[14]
Setelah mengikuti uraian dan alur argumentasi yang
dikemukakan Ibnu Khaldun di atas, maka dapat dikatakan bahwa hadis-hadis
al-’Aimmatu min Quraisy dan sejenisnya dipahami Ibnu Khaldun secara simbolis,
artinya jika suku Quraisy dalam keadaan tidak lagi merupakan suku yang paling
berwibawa, dan solidaritas kelompoknya tidak lagi dominan, yang berarti pula
pemimpin yang berasal dari suku Quraisy tidak lagi diharapkan mampu secara
efektif mewujudkan ketertiban negara dan kerukunan antar warga negara, maka
kepemimpinan dapat berpindah ke suku atau kelompok lain yang memiliki wibawa
yang lebih besar dan solidaritas kelompok yang lebih kuat. Atau dengan istilah
yang lebih sederhana bahwa kepemimpinan umat Islam bukan hak monopoli suku
Quraisy secara tekstual, tetapi merupakan hak orang yang memiliki wibawa atau
kelompok yang dominan atau suku dan bangsa yang mempunyai solidaritas kelompok
yang kuat atau memiliki sifat, watak dan ciri-ciri kequraisyan.
[1]Lihat
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah,
t.th.), h. 204.
[2]Lihat Ibid.
[3]Lihat
Ibid.
[4]Lihat
Ibid.
[5]Lihat Ibid.
[6]Kriteria
hadis sahih yang dipergunakan Ibnu Khaldun dalam menilai hadis kepemimpinan
Quraisy ini kelihatannya lebih cenderung kepada kaedah kesahihan sanad
hadis. Anggapan ini didasarkan atas kesan terhadap pernyataan Ibnu Khaldun yang
mengatakan bahwa hadis ini saheh karena diriwayatkan oleh banyak periwayat
hadis. Lihat Ibid., h. 205.
[7]Lihat
Ibid.
[8]Teks
Arabnya: اسمعوا واطيعوا ولو ولىكم عبد حبشي
[9]Lihat Ibid.
[10]Washilah
itu mengandung arti hubungan keturunan dengan Nabi. Oleh sebab itu, washilah
hanya bisa terjadi apabila seseorang itu memang keturunan Quraisy, karena Nabi
sendiri memang berasal dari keturunan itu. Tetapi menurut Ibnu Khaldun, washilah
yang demikian tidak diinginkan, karena di dalamnya terkandung unsur kebanggaan,
sedangkan berbangga-bangga tidaklah merupakan tujuan syari’at.
[11]Lihat
Ibid., h. 206.
[12]Lihat
Ibid.
[13]Lihat
Ibid., h. 207.
[14]Lihat
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar