Entri yang Diunggulkan

RELASI NEGARA DAN HUKUM ISLAM

Prawacana; Setelah membaca tulisan ini diharapkan mahasiswa dapat:       Mengetahui dan memahami pemikirankenegaraan Perspektif I...

Selasa, 03 Mei 2016

Hukum Humaniter


BAB I
PENDAHULUAN
Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia.
Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalaman- pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.
Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua Negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil, anak-anak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Humaniter
Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971.
Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter, diantaranya:
Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”
S.R Sianturi :“Hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak.“
Panitia tetap hukum humaniter, departemen hukum dan perundang-undangan merumuskan sebagai berikut : “Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah dan ketentuan internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang.”
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict). Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negara-negara yang sering disebut traktat atau konvensi dan secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan demikian, maka hukum humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian internasional, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui.
B.     Tujuan Hukum Humaniter
Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan. Dengan alasan-alasan ini, kadang-kadang hukum humaniter disebut sebagai ”peraturan tentang perang berperikemanusiaan”. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Oleh karena itu, perkembangan hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata dan kemudian menjadi hukum humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh hukum humaniter tersebut, yaitu :
1.         Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).
2.         Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.
3.         Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini yang terpenting adalah asas kemanusiaan.
C.     Hukum Jenewa
Obyek hukum Jenewa adalah menyelamatkan korban dari keadaan sengketa bersenjata yaitu para angkatan bersenjata yang tidak terlibat tindakan pertempuran (out of action), baik yang terluka, sakit, korban karam, atau para tawanan perang, maupun penduduk sipil yang pada umumnya orang yang tidak lagi ambil bagian dalam permusuhan.
Empat konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 merupakan himpunan dari peraturan-peraturan perlindungan ini. Konvensi ini diterima secara massal oleh 188 negara. Konvensi-konvensi ini telah diperkuat dan dilengkapi dengan penerimaan dua protokol tambahan 10 Juni 1977 (protokol I berkaitan dengan sengketa bersenjata internasional dan protokol II berkaitan dengan Sengketa Bersenjata non internasional), yang telah diratifikasi pada tanggal 31 Maret 1997 masing-masing oleh 147 dan 139 negara.
D.    Hubungan Hukum Humaniter dengan Hak Asasi Manusia
Sangat penting untuk memahami pengertian istilah “hak bangsa-bangsa, hak asasi manusia dan hukum humaniter”. Hal ini penting untuk mengetahui kapan sesungguhnya konsep-konsep tersebut termasuk ke dalam suatu sistem hukum. Ini menjadikannya penting untuk menegaskan hakikat hukum humaniter dan hakikat hukum hak asasi manusia dan mengingat persamaan dan perbedaan diantara dua cabang hukum internasional publik ini. Juga sangatlah penting bagi mereka yang bertanggungjawab menyebarkan penerangan mengenai hukum humaniter internasional dan atau hukum hak asasi manusia untuk mampu memberikan penjelasan sesungguhnya mengenai subyek tersebut. Ini adalah kepentingan terbesar orang yang dilindungi oleh kedua hukum, tetapi juga membantu para pejabat Negara yang bertanggungjawab atas perlindungan tersebut.
Pada mulanya, tidak pernah ada perhatian mengenai hubungan hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Pernyataan Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) 1948 tidak menyinggung tentang penghormatan hak asasi manusia pada waktu sengketa bersenjata. Sebaliknya, dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949 tidak menyinggung masalah hak asasi manusia, tetapi tidak berarti bahwa konvensi-konvensi Jenewa dan hak asasi manusia tidak memiliki kaitan sama sekali. Antara keduanya terdapat hubungan keterkaitan, walaupun tidak secara langsung. Di satu sisi ada kecenderungan untuk memandang ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1949 tidak hanya mengatur mengenai kewajiban bagi negara-negara peserta, tetapi juga mengatur tentang hak orang perorangan sebagai pihak yang dilindungi. Keempat Konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa penolakan hak-hak yang diberikan oleh konvensi-konvensi ini tidak dapat dibenarkan. Apalagi dengan adanya Pasal 3 tentang ketentuan yang bersamaan pada Keempat Konvensi Jenewa 1949 yang mewajibkan setiap negara peserta untuk menghormati peraturan-peraturan dasar kemanusiaan pada sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. Dengan demikian, maka Pasal 3 ini mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya, yang berarti mencakup bidang tradisional dari hak asasi manusia.
Sedangkan di sisi lain, dalam konvensi-konvensi tentang hak asasi manusia terdapat pula berbagai ketentuan yang penerapannya justru pada situasi perang. Konvensi Eropa tahun 1950, misalnya dalam Pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang atau bahaya umum lainnya yang mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang dijamin dalam konvensi ini tidak boleh dilanggar. Meskipun dalam keadaan demikian, paling tidak ada 7 (tujuh) hak yang harus tetap dihormati, karena merupakan intisari dari Konvensi ini, yaitu hak atas kehidupan, kebebasan, integritas fisik, status sebagai subyek hukum, kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi dan hak atas keamanan. Ketentuan ini terdapat juga dalam Pasal 4 Kovenan PBB mengenai hak-hak sipil dan politik dan Pasal 27 Konvensi HAM Amerika.
Selain itu, terdapat pula hak-hak yang tak boleh dikurangi (non derogable rights), baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak yang tak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip (perlakuan) non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku surutnya hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan (slavery), perhambaan (servitude), larangan penyimpangan berkaitan dengan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penjatuhan hukum tanpa putusan yang dimumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang lazim, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf (d) yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa.
Dalam hukum humaniter internasional, pengaturan mengenai hak-hak yang tak dapat dikurangi ini antara lain tercantum dalam ketentuan Pasal 3 tentang ketentuan yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa 1949. Pasal ini penting karena membebankan kewajiban kepada “pihak peserta agung” untuk tetap menjamin perlindungan kepada orang perorangan dengan mengesampingkan status “belligerent” menurut hukum atau sifat dari sengketa bersenjata yang terjadi itu. Kesadaran akan adanya hubungan hak asasi manusia dan hukum humaniter baru terjadi pada akhir tahun 1960-an. Kesadaran ini makin meningkat dengan terjadinya berbagai sengketa bersenjata, seperti dalam perang kemerdekaan di Afrika dan di berbagai belahan dunia lainnya yang menimbulkan masalah, baik dari segi hukum humaniter maupun dari segi hak asasi manusia. Konferensi internasional mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh PBB di Teheran pada tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Humaniter Internasional (HHI).
Dalam Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata”, meminta agar konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata diterapkan secara lebih sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini mendorong PBB untuk menangani pula Hukum Humaniter Internasional. Ada 3 (tiga) aliran berkaitan dengan hubungan hokum humaniter internasional :
1.      Aliran Integrationis
Aliran integrationis berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal dari hukum yang lain. Dalam hal ini, maka ada 2 (dua) kemungkinan. Pertama, hak asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional, dalam arti bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia. Pendapat ini antara lain dianut oleh Robertson, yang menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar bagi setiap orang, setiap waktu dan berlaku di segala tempat. Jadi hak asasi manusia merupakan genus dan hukum humaniter merupakan species-nya, karena hanya berlaku untuk golongan tertentu dan dalam keadaan tertentu pula. Kedua, Hukum Humaniter Internasional merupakan dasar dari Hak Asasi Manusia, dalam arti bahwa hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa hukum humaniter lahir lebih dahulu dari pada hak-hak asasi manusia. Jadi secara kronologis, hak asasi manusia dikembangkan setelah hukum humaniter internasional.
2.      Aliran Separatis
Melihat Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan, karena keduanya berbeda. Menurut  separatis Perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada:
a.       Objeknya
Hukum Humaniter Internasional mengatur sengketa bersenjata antara negara dengan kesatuan (entity) lainnya; sebaliknya hak asasi manusia mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya di dalam negara tersebut.
b.      Sifatnya
Hukum Humaniter Internasional bersifat mandatory a political serta peremptory.
c.       Saat berlakunya
Hukum Humaniter Internasional berlaku pada saat perang atau masa sengketa bersenjata, sedangkan hak asasi manusia berlaku pada saat damai. Salah seorang dari penganut teori ini adalah Mushkat, yang menyatakan bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa hukum humaniter itu berhubungan dengan akibat dari sengketa bersenjata antar negara, sedangkan hak asasi manusia berkaitan dengan pertentangan antara pemerintah dengan individu di dalam negara yang bersangkutan. Hukum humaniter mulai berlaku pada saat hak asasi manusia sudah tidak berlaku lagi; hukum humaniter melindungi mereka yang tidak mampu terus berperang atau mereka yang sama sekali tidak turut bertempur, yaitu penduduk sipil. Hak asasi manusia tidak ada dalam sengketa bersenjata karena fungsinya diambil oleh hukum humaniter, tetapi terbatas pada golongan tertentu saja.
3.      Aliran Komplementaris
Aliran Komplementaris melihat Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional melalui proses yang bertahap, berkembang sejajar dan saling melengkapi. Salah seorang dari penganut teori ini adalah Cologeropoulus, dimana Ia menentang pendapat aliran separatis yang dianggapnya menentang kenyataan bahwa kedua sistem hukum tersebut memiliki tujuan yang sama, yakni perlindungan pribadi orang. Hak asasi manusia melindungi pribadi orang pada masa damai, sedangkan hukum humaniter memberikan perlindungan pada masa perang atau sengketa bersenjata. Aliran ini mengakui adanya perbedaan seperti yang dikemukakan oleh aliran separatis, dan menambahkan beberapa perbedaan lain, yaitu :
a.       Dalam pelaksanaan dan penegakan
Hukum humaniter menggantungkan diri pada atau menerapkan sistem Negara pelindung (protecting power). Sebaliknya hukum hak asasi manusia sudah mempunyai aparat dan mekanisme yang tetap, tetapi ini hanya berlaku di negara-negara Eropa saja, yaitu diatur dalam Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa.
b.      Dalam hal sifat pencegahan
Hukum humaniter internasional dalam hal kaitannya dengan pencegahan menggunakan pendekatan preventif dan korektif, sedangkan hukum hak asasi manusia secara fundamental menggunakan pendekatan korektif, yang diharapkan akan mempunyai efek preventif. Walaupun hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia keduanya didasarkan atas perlindungan orang, terdapat perbedan khas dalam lingkup, tujuan dan penerapan diantara keduanya. Hukum humaniter internasional berlaku dalam kasus-kasus sengketa bersenjata, baik internasional maupun non internasional atau perang saudara (civil war). Di satu pihak, hukum humaniter internasional terdiri atas standar-standar perlindungan bagi para korban sengketa, disebut hukum Jenewa, dan di lain pihak peraturan-peraturan yang berkaitan dengan alat dan cara berperang dan tindakan permusuhan, juga dikenal sebagai hukum Den Haag.
Dewasa ini, dua perangkat perturan itu telah digabung dan muncul dalam Protokol- protokol tambahan pada Konvensi Jenewa yang diterima tahun 1977. Hukum hak asasi manusia, sebaliknya bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa hak-hak dan kebebasan  sipil, politik, ekonomi dan budaya  dan setiap orang perorangan dihormati pada segala waktu, untuk menjamin bahwa dia dapat berkembang sepenuhnya dalam masyarakatnya dan melindunginya jika perlu terhadap penyalahgunaan dari para penguasa yang bertanggungjwab. Hak-hak ini tergantung pada hukum nasional dan sifatnya yang sangat fundamental dijumpai dalam konstitusi negara-negara. Namun hukum hak asasi manusia juga berkaitan dengan perlindungan internasional hak asasi manusia, yakni aturan-aturan yang disetujui untuk dipatuhi oleh negara-negara dalam kaitannya dengan hak dan kebebasan orang perorangan dan bangsa. Hukum humaniter internasional secara khusus dapat dianggap dimaksudkan untuk menjamin dan memelihara hak-hak dasar (untuk hidup, keamanan, kesehatan, dsb) dari korban dan non-kombatan dalam peristiwa sengketa bersenjata. Ada hukum darurat yang diperintahkan karena keadaan-keadaan khusus, sedangkan hak asasi manusia, yang berjalan dengan sangat baik di masa damai, terutama berkaitan dengan perkembangan yang harmonis dari setiap orang.
Dengan demikian, walaupun hukum humaniter berlaku pada waktu sengketa bersenjata dan hak asasi manusia berlaku pada waktu damai. Namun inti dari hak-hak asasi atau “hard core rights” tetap berlaku sekalipun pada waktu sengketa bersenjata. Keduanya saling melengkapi. Selain itu, ada keterpaduan dan keserasian kaidah-kaidah yang berasal dari instrument-instrumen hak asasi manusia dengan kaidah-kaidah yang berasal dari instrument-instrumen hukum humaniter internasional. Keduanya tidak hanya mengatur hubungan diantara negara dengan negara dengan menetapkan hak-hak dan kewajiban mereka secara timbal balik.
Selain hal tersebut, terdapat pula persamaan antara Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional. Persamaan tersebut antara lain :
1)      Sebagaimana ketentuan-ketentuan dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia, Konvensi Jenewa 1949 dan protokol-protokolnya yang memberikan kewajiban kepada negara peserta dan menjamin hak-hak individual dari orang-orang yang dilindungi.
2)      Hukum humaniter internasional menentukan kelompok-kelompok orang yang dilindungi, seperti orang-orang yang cedera dan tawanan perang, sedangkan hak asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa memberikan status khusus. Akan tetapi dalam perkembangan terakhir, hukum humaniter internasional mengikuti pendekatan yang sama dengan sistem hak asasi manusia, dengan memperluas perlindungan hukum humaniter internasional bagi semua orang sipil.
3)       Di satu sisi landasan pengaturan hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang berkaitan dengan manusia, yaitu : kehidupan, kebebasan, keamanan, status sebagai subyek hukum, dsb.
Atas dasar tersebut dibuatlah peraturan-peraturan untuk menjamin perkembangan manusia dalam segala segi. Di sisi lain hukum humaniter internasional (HHI) dimaksudkan untuk membatasi kekerasan dan dengan tujuan ini, hukum humaniter internasional (HHI) memuat peraturan-peraturan yang menjamin hak-hak manusia yang sama, karena hak-hak tersebut merupakan hak-hak minimal.
Intisari dari hak-hak asasi manusia (hard core rights) atau dapat juga disebut sebagai hak-hak yang paling dasar, menjamin perlindungan minimal yang mutlak dihormati terhadap siapapun, baik di masa damai maupun di waktu perang. Hak-hak ini merupakan bagian dari kedua system hukum tersebut. Oleh karena itu, maka kedua bidang ini merupakan instrumen-instrumen hokum yang memberikan perlindungan hukum kepada orang perorangan. Instrumen-instrumen hukum yang memberikan perlindungan hukum kepada orang perorangan ini dapat digolongkan ke dalam empat kelompok :
1)      Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang perorangan sebagai anggota masyarakat. Perlindungan ini meliputi segenap segi perilaku perorangan dan sosialnya. Perlindungan ini bersifat umum. Kategori ini justru mencakup hukum hak asasi manusia internasional.
2)      Instrumen yang bertujuan melindungi orang perorangan berkaitan dengan keadaannya di dalam masyarakat, seperti hukum internasional tentang perlindungan terhadap kaum wanita dan hukum internasional berkaitan dengan perlindungan terhadap anak.
3)      Instrumen hukum yang bertutujuan melindungi orang perorangan dalam kaitannya dengan fungsinya di dalam masyarakat, seperti hukum internasional tentang buruh.
4)      Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang perorangan dalam keadaan darurat, apabila terjadi situasi yang luar biasa dan yang mengakibatkan ancaman adanya pelanggaran hak asasi atas haknya yang biasanya dijamin oleh hukum yang berlaku, seperti hukum internasional tentang pengungsi dan hukum humaniter internasional yang melindungi para korban akibat sengketa bersenjata.
BAB III
KESIMPULAN
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict). Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negara-negara yang sering disebut traktat atau konvensi dan secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan demikian, maka hukum humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian internasional, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui.