Rasyid Ridha
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha (1865 M.-1935 M.).
Dia adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari
Sayyidina Husain, putera Ali bin Abi Thalib dan Fathimah puteri Rasulullah saw.
Rasyid Ridha[1]
adalah salah seorang dari tiga serangkai, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad
Abduh, dan Rasyid Ridha. Dalam masalah teologi dan hukum mereka mempunyai
pandangan yang serupa, yaitu mazhab salaf. Al-Afghani adalah pemberi ilham,
Abduh otaknya, sedangkan Rasyid Ridha adalah juru bicaranya. Namun bila dilihat
dari sudut teori politik mereka punya perbedaan pandangan yang jauh. Al-Afghani
adalah penentang utama terhadap pemerintahan despotik dan pembela sistem
politik demokrasi yang didukung rakyat, sementara Abduh menyokong bentuk
diktator, sekalipun ia menginginkan yang adil. Sedangkan Rasyid Ridha
sebaliknya sangat konservatif, bercorak abad tengah, karena ada keinginannya
untuk menghidupkan kembali kekhalifahan
atas dasar hak Quraisy.[2]
Interpretasi Ridha tentang hadis al-Aimmatu Min
Quraisy secara lebih utuh dapat dilacak dengan mengamati peta perkembangan
pemikirannya tentang politik, khususnya mengenai khilafah. Pertama, ia melacak
landasan-landasan kekhalifahan dalam teori politik Islam; Kemudian, ia
menemukan kesenjangan antara teori tersebut dengan praktek politik Muslim
Sunni; Dan akhirnya, ia berusaha mengemukakan gagasan bagaimana seharusnya
kekhalifahan Islam itu.[3]
Pertama Rasyid Ridha mengemukakan
landasan-landasan kekhalifahan, khususnya syarat-syarat khalifah dengan
mengandalkan hadis-hadis dan ijma’, tapi tampaknya kurang mengandalkan
al-Qur’an. Menurutnya calon khalifah harus memiliki beberapa kualifikasi, yaitu
1) bersifat adil, 2) berilmu dan dapat
berijtihad, 3) sehat pancaindera, 4) sehat anggota badan, 5) berpandangan luas,
dan 6) berasal dari suku Quraisy. [4]
Keenam syarat tersebut dikutifnya begitu saja dari
al-Mawardi, dan sebagaimana al-Mawardi, Ridha-pun tidak memberikan penjelasan
dan ulasan terhadap syarat-syarat khalifah yang diajukannya, kecuali pada
syarat keturunan Quraisy.
Khalifah harus Quraisy menurut Ridha karena
kequraisyan khalifah tersebut didukung oleh banyak riwayat. Dan riwayat yang
mendukung persyaratan Quraisy ini menurut Ridha tidak pernah diperselisihkan
oleh ulama Ahl al-Sunnah baik Arab maupun ‘Ajam.[5]
Sampai di sini tempaknya bahwa Ridha dalam
memahami hadis-hadis al-Aimmatu Min Quraisy
menggunakan kerangka pemahaman tekstual
dan sangat bercorak abad pertengahan. Karenanya, ia menjadi sangat fanatik
dalam mempertahankan kekhalifahan tetap di tangan Quraisy. Sehingga dengan
kefanatikannya itu sampai-sampai Ridha Melupakan prinsip Islam tentang
persamaan, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi.[6]
Padahal menurut penilaian Quraish Shihab,
Ridha termasuk ulama yang mempunyai sikap hati-hati terhadap hadis-hadis
Nabi saw., bahkan ia tidak menerima begitu saja semua hadis-hadis
Nabi, walaupun hadis tersebut terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim, yang oleh banyak ulama keduanya dinilai merupakan kitab yang
hadis-hadisnya dapat dipertanggungjawabkan.[7] Dikatakannya pula bahwa Ridha didalam
menolak suatu hadis seringkali dengan menggunakan alasan-alasan disiplin
ilmu hadis itu sendiri.[8] Akan tetapi, dalam hadis al-Aimmatu
Min Quraisy ini tampaknya Ridha agak longgar, yang barangkali disebabkan sikap fanatiknya
seperti terurai di atas.
Namun dalam perkembangannya, ternyata
Ridha mendapati kesulitan praktis antara idea dan fakta, khususnya untuk
menemukan orang yang tepat untuk menjadi khalifah. Setelah mengamati fakta
politik objektif, dia mencoret nama calon yang paling berambisi pada masanya,
Syarif Hussein dari Makkah, karena despotisme, kebutaan akan pengetahuan
syari’ah, simpati dan pro terhadap Inggris, serta oposisinya terhadap paham
pembaharuan. Calon-calon dari Turki juga tidak disetujuinya, karena mereka pada
saat itu menentang pemusatan semua kekuatan politik dan spiritual di tangan
satu orang. Orang-orang Mesir tidak masuk nominasi Ridha, dan hanya Imam Yahya
dari Yaman saja yang memperoleh persetujuan Ridha karena penguasaannya atas
hukum-hukum agama, integritas moral, kemampuan, efesiensi, kemandiriannya
secara politis dan dari keturunan Quraisy.[9]
Namun lagi-lagi hal ini tidak dapat diwujudkan karena sang imam ternyata
bermazhab Syi’ah Zaidiyah yang sangat sulit sekali dibayangkan bagaimana
mayoritas Muslim Sunni bersedia mentaati seorang khalifah Syi’ah apapun
alirannya.[10]
Hingga Ridha sampai pada kesimpulan sedih bahwa benar-benar tidak ada satu pun
calon yang memenuhi kualifikasi-kualifikasi ideal kekhalifahan.[11]
Realita demikian tampaknya mempengaruhi
perkembangan pemikiran dan interpretasi Ridha terhadap kekhalifahan Quraisy
yang berdasarkan hadis al-Aimmatu Min Quraisy tersebut. Sehingga dalam
evolusi selanjutnya, syarat keturunan Quraisy tersebut tampaknya bukan harga
mati lagi bagi Ridha. Ia kemudian berpendapat seandainya situasi dan kondisi
tidak memungkinkan pemimpin tertinggi (khalifah) dari Quraisy, maka seorang
yang akan dipilih menjadi khalifah, menurutnya hendaklah memiliki sifat-sifat
dan watak seperti Quraisy.[12] Yaitu berpengetahuan dalam arti menguasai
pengetahuan agama dan bahasa Arab sehingga mampu memahami secara tepat
maksud-maksud al-Qur’an dan sunnah Nabi dan teladan-teladan yang diwariskan
oleh para pendahulu yang saleh, dan yang sudah mencapai tingkat mampu
berijtihad secara betul.[13]
Suatu pandangan yang menurut Munawir Sjadzali sejalan dengan pemahaman simbolis
dan rasionalisasi yang telah dilakukan oleh Ibnu Khaldun.[14]
Untuk mempersiapkan calon-calon khalifah yang
memenuhi kualifikasi tersebut di atas, Ridha mencetuskan gagasannya mendirikan akademi keagamaan untuk mendidik
dan mencetak calon-calon khalifah, yang mengajarkan berbagai cabang ilmu agama
Islam, sejarah, ilmu kemasyarakatan, dan ajaran agama-agama lain. Diharapkan di
lembaga tersebut mereka terdidik untuk memilih seseorang di antara mereka yang
pantas diangkat menjadi khalifah, yaitu mereka yang telah memperlihatkan
keunggulan dan penguasaan ilmu dan kemampuan berijtihad, yang mana semua itu
merupakan sifat-sifat dan watak kequraisyan.[15]
Interpretasi dan respon Rasyid Ridha terhadap hadis-hadis
al-Aimmatu Min Quraisy di atas, apakah pendekatan yang digunakannya
tekstual ataukah kontekstual menggambarkan sosok pemikiran politiknya yang
konservatif; yaitu kecenderungan terikat pada tradisi dan pemikiran zaman
pertengahan. Karena keterikatannya itu ia menjadi pembela yang gigih
kekhalifahan di tangan Quraisy, sekalipun kequraiysan itu pada perkembangannya
hanya sekedar simbol kepemimpinan.
Dengan ungkapan lain, dari sisi kritik hadis, pada
mulanya Ridha agak bergeser dari metodologi pemahaman hadis yang biasa
ditempuhnya. Ia dengan begitu saja mengatakan bahwa kekhalifahan Quraisy
didukung oleh banyak riwayat yang tidak diperselisihkan di kalangan ulama ahl
al-sunnah. Sehingga tidak ada keraguan untuk mengatakan bahwa khalifah
harus berasal dari kalangan Quraisy. Artinya ia menjalankan metode al-nasikh
wa al-mansukh kemudian al-tarjih terhadap hadis-hadis al-Aimmatu
Min Quraisy. Namun setelah realita dan kondisi objektif tidak memungkinkan
ia bergeser untuk melakukan pendekatan interpretasi kontekstual dengan
melakukan metode al-jam’u dan kemudian al-tarjih.
[2]Lihat.
Muhammad Rasyid Ridha, al-Khilafah au al-Imamah al-’Uzhma (Qairo:
al-Manar, t.th.), h. 18-19.
[3]Hamid
Enayat, Modern Islamic Political Thought, the Response of The Syi’I and
Sunni Muslim to the Twentieth Century. Terj. Asep Hikmat, Reaksi Politik
Sunni dan Syi’ah, Pemikiran Islam Modern Menghadapi Abad ke-20 (Bandung;
Pustaka, 1988 M), h. 109-110.
[5]Lihat
Ibid., h. 7. Pada catatan yang sama Ridha juga menghimbau setiap Muslim
untuk membantu rakyat Turki dalam menghadapi musuh-musuhnya. Bantuan ini bukan
karena adanya kekhalifahan di tengah-tengah mereka, tetapi semata-mata untuk
kepentingan Islam, sebab hak khalifah tetap di tangan suku Quraisy, suatu pandangan yang masih bercorak pra Ibnu
Taimiyah.
[6]Lihat
Firman Allah dalam Q.S. Al-Hujurat; 13. يا ايها
الناس اناخلقناكم من ذكر وانثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله
اتقاكمr “Wahai manusia,
sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu sekalian dari laki-laki dan perempuan,
dan Kami jadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antaramu di sisi Allah adalah
orang yang paling taqwa”. Dan hadis Nabi: يا
ايها الناس الا ان ربكم واحد وانا اباكم واحد الا لا فضل لعربي على اعجمي ولا
لعجمي على عربي ولا لاحمر على اسود ولا اسود احمر الا بالتقوىr “...
Tidak ada keutamaan orang Arab atas orang ‘Ajam, dan orang ‘Ajam atas orang
Arab, Demikian juga tidak ada keutamaan orang yang berkulit Merah atas orang
yang berkulit hitam dan sebaliknya, kecuali karena taqwanya”.Lihat Ahmad
Bin Hambal, Musnad Ahmad bin hambal, Juz IV (t.tp; al-Maktab al-Islami,
t.th.), h. 411.
[11] Ibid.,
h. 72. Juga Hamid Enayat, op. Cit., h. 116.
[12] Rasyid Ridha, op.cit., h. 27.
[13] Ibid.,
h. 28
[14]Lihat Munawir Sjadzali, op.cit., h.
135.