Entri yang Diunggulkan

RELASI NEGARA DAN HUKUM ISLAM

Prawacana; Setelah membaca tulisan ini diharapkan mahasiswa dapat:       Mengetahui dan memahami pemikirankenegaraan Perspektif I...

Rabu, 29 Mei 2013

KHILAFAH MENURUT RASYID RIDHA


Rasyid Ridha
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha (1865 M.-1935 M.). Dia adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putera Ali bin Abi Thalib dan Fathimah puteri Rasulullah saw.
Rasyid Ridha[1] adalah salah seorang dari tiga serangkai, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dalam masalah teologi dan hukum mereka mempunyai pandangan yang serupa, yaitu mazhab salaf. Al-Afghani adalah pemberi ilham, Abduh otaknya, sedangkan Rasyid Ridha adalah juru bicaranya. Namun bila dilihat dari sudut teori politik mereka punya perbedaan pandangan yang jauh. Al-Afghani adalah penentang utama terhadap pemerintahan despotik dan pembela sistem politik demokrasi yang didukung rakyat, sementara Abduh menyokong bentuk diktator, sekalipun ia menginginkan yang adil. Sedangkan Rasyid Ridha sebaliknya sangat konservatif, bercorak abad tengah, karena ada keinginannya untuk  menghidupkan kembali kekhalifahan atas dasar hak Quraisy.[2]
Interpretasi Ridha tentang hadis al-Aimmatu Min Quraisy secara lebih utuh dapat dilacak dengan mengamati peta perkembangan pemikirannya tentang politik, khususnya mengenai khilafah. Pertama, ia melacak landasan-landasan kekhalifahan dalam teori politik Islam; Kemudian, ia menemukan kesenjangan antara teori tersebut dengan praktek politik Muslim Sunni; Dan akhirnya, ia berusaha mengemukakan gagasan bagaimana seharusnya kekhalifahan Islam itu.[3]
Pertama Rasyid Ridha mengemukakan landasan-landasan kekhalifahan, khususnya syarat-syarat khalifah dengan mengandalkan hadis-hadis dan ijma’, tapi tampaknya kurang mengandalkan al-Qur’an. Menurutnya calon khalifah harus memiliki beberapa kualifikasi, yaitu 1) bersifat adil,  2) berilmu dan dapat berijtihad, 3) sehat pancaindera, 4) sehat anggota badan, 5) berpandangan luas, dan 6) berasal dari suku Quraisy. [4]
Keenam syarat tersebut dikutifnya begitu saja dari al-Mawardi, dan sebagaimana al-Mawardi, Ridha-pun tidak memberikan penjelasan dan ulasan terhadap syarat-syarat khalifah yang diajukannya, kecuali pada syarat keturunan Quraisy.
Khalifah harus Quraisy menurut Ridha karena kequraisyan khalifah tersebut didukung oleh banyak riwayat. Dan riwayat yang mendukung persyaratan Quraisy ini menurut Ridha tidak pernah diperselisihkan oleh ulama Ahl al-Sunnah baik Arab maupun ‘Ajam.[5]
Sampai di sini tempaknya bahwa Ridha dalam memahami hadis-hadis al-Aimmatu Min Quraisy menggunakan  kerangka pemahaman tekstual dan sangat bercorak abad pertengahan. Karenanya, ia menjadi sangat fanatik dalam mempertahankan kekhalifahan tetap di tangan Quraisy. Sehingga dengan kefanatikannya itu sampai-sampai Ridha Melupakan prinsip Islam tentang persamaan, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi.[6]
Padahal menurut penilaian Quraish Shihab, Ridha termasuk ulama yang mempunyai sikap hati-hati terhadap hadis-hadis Nabi saw., bahkan ia tidak menerima begitu saja semua hadis-hadis Nabi, walaupun hadis tersebut terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, yang oleh banyak ulama keduanya dinilai merupakan kitab yang hadis-hadisnya dapat dipertanggungjawabkan.[7] Dikatakannya pula bahwa Ridha didalam menolak suatu hadis seringkali dengan menggunakan alasan-alasan disiplin ilmu hadis itu sendiri.[8] Akan tetapi, dalam hadis al-Aimmatu Min Quraisy ini tampaknya Ridha agak longgar,  yang barangkali disebabkan sikap fanatiknya seperti terurai di atas.
Namun dalam perkembangannya, ternyata Ridha mendapati kesulitan praktis antara idea dan fakta, khususnya untuk menemukan orang yang tepat untuk menjadi khalifah. Setelah mengamati fakta politik objektif, dia mencoret nama calon yang paling berambisi pada masanya, Syarif Hussein dari Makkah, karena despotisme, kebutaan akan pengetahuan syari’ah, simpati dan pro terhadap Inggris, serta oposisinya terhadap paham pembaharuan. Calon-calon dari Turki juga tidak disetujuinya, karena mereka pada saat itu menentang pemusatan semua kekuatan politik dan spiritual di tangan satu orang. Orang-orang Mesir tidak masuk nominasi Ridha, dan hanya Imam Yahya dari Yaman saja yang memperoleh persetujuan Ridha karena penguasaannya atas hukum-hukum agama, integritas moral, kemampuan, efesiensi, kemandiriannya secara politis dan dari keturunan Quraisy.[9] Namun lagi-lagi hal ini tidak dapat diwujudkan karena sang imam ternyata bermazhab Syi’ah Zaidiyah yang sangat sulit sekali dibayangkan bagaimana mayoritas Muslim Sunni bersedia mentaati seorang khalifah Syi’ah apapun alirannya.[10] Hingga Ridha sampai pada kesimpulan sedih bahwa benar-benar tidak ada satu pun calon yang memenuhi kualifikasi-kualifikasi ideal kekhalifahan.[11]
Realita demikian tampaknya mempengaruhi perkembangan pemikiran dan interpretasi Ridha terhadap kekhalifahan Quraisy yang berdasarkan hadis al-Aimmatu Min Quraisy tersebut. Sehingga dalam evolusi selanjutnya, syarat keturunan Quraisy tersebut tampaknya bukan harga mati lagi bagi Ridha. Ia kemudian berpendapat seandainya situasi dan kondisi tidak memungkinkan pemimpin tertinggi (khalifah) dari Quraisy, maka seorang yang akan dipilih menjadi khalifah, menurutnya hendaklah memiliki sifat-sifat dan watak seperti Quraisy.[12] Yaitu berpengetahuan dalam arti menguasai pengetahuan agama dan bahasa Arab sehingga mampu memahami secara tepat maksud-maksud al-Qur’an dan sunnah Nabi dan teladan-teladan yang diwariskan oleh para pendahulu yang saleh, dan yang sudah mencapai tingkat mampu berijtihad secara betul.[13] Suatu pandangan yang menurut Munawir Sjadzali sejalan dengan pemahaman simbolis dan rasionalisasi yang telah dilakukan oleh Ibnu Khaldun.[14]
Untuk mempersiapkan calon-calon khalifah yang memenuhi kualifikasi tersebut di atas, Ridha mencetuskan gagasannya  mendirikan akademi keagamaan untuk mendidik dan mencetak calon-calon khalifah, yang mengajarkan berbagai cabang ilmu agama Islam, sejarah, ilmu kemasyarakatan, dan ajaran agama-agama lain. Diharapkan di lembaga tersebut mereka terdidik untuk memilih seseorang di antara mereka yang pantas diangkat menjadi khalifah, yaitu mereka yang telah memperlihatkan keunggulan dan penguasaan ilmu dan kemampuan berijtihad, yang mana semua itu merupakan sifat-sifat dan watak kequraisyan.[15]
Interpretasi dan respon Rasyid Ridha terhadap hadis-hadis al-Aimmatu Min Quraisy di atas, apakah pendekatan yang digunakannya tekstual ataukah kontekstual menggambarkan sosok pemikiran politiknya yang konservatif; yaitu kecenderungan terikat pada tradisi dan pemikiran zaman pertengahan. Karena keterikatannya itu ia menjadi pembela yang gigih kekhalifahan di tangan Quraisy, sekalipun kequraiysan itu pada perkembangannya hanya sekedar simbol kepemimpinan.
Dengan ungkapan lain, dari sisi kritik hadis, pada mulanya Ridha agak bergeser dari metodologi pemahaman hadis yang biasa ditempuhnya. Ia dengan begitu saja mengatakan bahwa kekhalifahan Quraisy didukung oleh banyak riwayat yang tidak diperselisihkan di kalangan ulama ahl al-sunnah. Sehingga tidak ada keraguan untuk mengatakan bahwa khalifah harus berasal dari kalangan Quraisy. Artinya ia menjalankan metode al-nasikh wa al-mansukh kemudian al-tarjih terhadap hadis-hadis al-Aimmatu Min Quraisy. Namun setelah realita dan kondisi objektif tidak memungkinkan ia bergeser untuk melakukan pendekatan interpretasi kontekstual dengan melakukan metode al-jam’u dan kemudian al-tarjih.



Pemikiran politiknya tentang hadis al-Aimmatu Min Quraisy termuat dalam al-Khilafah au al-Imamah al’Uzhma. Lihat M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994 m.), h. 59; Juga J. Suyuthi Pulungan, op.cit., h. 291.
[2]Lihat. Muhammad Rasyid Ridha, al-Khilafah au al-Imamah al-’Uzhma (Qairo: al-Manar, t.th.), h. 18-19.
[3]Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought, the Response of The Syi’I and Sunni Muslim to the Twentieth Century. Terj. Asep Hikmat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah, Pemikiran Islam Modern Menghadapi Abad ke-20 (Bandung; Pustaka, 1988 M), h. 109-110.
[4]Lihat Muhammad Rasyid Ridha, loc. Cit.
[5]Lihat Ibid., h. 7. Pada catatan yang sama Ridha juga menghimbau setiap Muslim untuk membantu rakyat Turki dalam menghadapi musuh-musuhnya. Bantuan ini bukan karena adanya kekhalifahan di tengah-tengah mereka, tetapi semata-mata untuk kepentingan Islam, sebab hak khalifah tetap di tangan suku Quraisy,  suatu pandangan yang masih bercorak pra Ibnu Taimiyah.
[6]Lihat Firman Allah dalam Q.S. Al-Hujurat; 13.  يا ايها الناس اناخلقناكم من ذكر وانثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكمr  Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu sekalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antaramu di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa”. Dan hadis Nabi: يا ايها الناس الا ان ربكم واحد وانا اباكم واحد الا لا فضل لعربي على اعجمي ولا لعجمي على عربي ولا لاحمر على اسود ولا اسود احمر الا بالتقوىr “... Tidak ada keutamaan orang Arab atas orang ‘Ajam, dan orang ‘Ajam atas orang Arab, Demikian juga tidak ada keutamaan orang yang berkulit Merah atas orang yang berkulit hitam dan sebaliknya, kecuali karena taqwanya”.Lihat Ahmad Bin Hambal, Musnad Ahmad bin hambal, Juz IV (t.tp; al-Maktab al-Islami, t.th.), h. 411.
[7]Lihat Quraish Shihab, op.cit., h. 83.
[8]Lihat Ibid., h. 84.
[9] Hamid Enayat, op. Cit., h. 115.
[10] Rasyid Ridha, “al-Khilafahop. Cit.,  h. 67-71.
[11] Ibid., h. 72. Juga Hamid Enayat, op. Cit., h. 116.
[12] Rasyid Ridha, op.cit., h. 27.
[13] Ibid., h. 28
[14]Lihat Munawir Sjadzali, op.cit., h. 135.
[15]Lihat Rasyid Ridha, loc.cit.