Pengantar
Lahirnya filsafat di Dunia Islam memang tidak dapat dipisahkan dari
tradisi ilmu kalam yang mendahuluinya. Sebelumnya, para mutakallimin memang
telah menggunakan man t iq (logika) dalam tradisi kalam mereka, baik untuk
membantah maupun menyusun argumentasi. Dalam hal ini, bukti paling akurat dapat
dilacak dalam kitab al-Fiqh al-Akbar, karya Abu Hanifah (w. 147 H/768 M). 1
Selain menggunakan mantik, beliau juga menggunakan istilah filsafat, seperti
jawhar (substabsi) dan ‘aradh (aksiden), yang notabene banyak digunakan
Aristoles dalam buku-bukunya.
Ini membuktikan, bahwa mantik
sebagai teknik pengambilan kongklusi (kesimpulan) telah digunakan oleh ulama
kaum Muslim pada abad ke-2 H/8 M. Hanya saja, ini tidak secara otomatis
menunjukkan bahwa filsafat telah dikaji secara mendalam pada zaman itu. Bukti
di atas hanya membuktikan pemanfaatan logika mantik dalam menghasilkan
kongklusi. Kesimpulan ini juga tidak dapat digunakan untuk menarik kongklusi
yang lebih luas mengenai kemungkinan logika telah dipelajari secara mendalam
oleh para mutakallimin, sebagaimana logika yang diuraikan oleh Ibn Sina. 2
Sebab, bukti yang akurat menunjukkan, bahwa perkembangan pemikiran filsafat
Yunani di negeri Islam baru terjadi setelah aktivitas penerjemahan pada zaman
Abbasiyah.
Meski demikian, penggunaan logika
(mantik), diakui atau tidak, telah membuka celah masuknya filsafat di Dunia
Islam. Karena itu, pasca generasi Washil, filsafat Yunani kemudian dipelajari
secara mendalam oleh ulama Muktazilah, separti Dhirar bin Amr, Abu Hudhail
al-‘Allaf, an-Nazhzham, dan lain-lain. Dari sinilah kemudian, lahir karya
mereka, seperti Kitâb ar-Radd ‘alâ Aristhâlîs fî al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya
Dhirar bin ‘Amr, Al-Jawâhir wa al-A‘râdh dan Tathbît al-A‘râdh, karya Abu
Hudhail al-‘Allaf, Kitâb al-Manthiq dan Kitâb al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya
an-Nazhzham. 3
Di samping itu, penyebaran filsafat
ini semakin meningkat, khususnya sejak al-Makmun, murid Abu Hudhail al-‘Allaf,
tokoh Muktazilah Baghdad, mendirikan Baitul Hikmah tahun 217 H/813 M; sebuah
pusat kajian filsafat yang dipimpin oleh Yuhana bin Masawih. Di kota ini juga
al-Kindi (w. 260 H/873 M) banyak berinteraksi dengan para penerjemah filsafat
dari bahasa Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab, seperti Yahya bin al-Baitriq
(w. 200 H/815 M) dan Ibn Na‘imah (w. 220 H/830 M). 4 Di sinilah al-Kindi juga
dibesarkan sebagai filosof Arab yang pertama. Setelah itu, menyusul nama-nama
seperti al-Farabi (w. 339 H/951 M) dan Ibn Sina (w. 428 H/1049 M). Mereka
adalah para filosof yang hidup di Timur. Di Barat, lahir nama-nama seperti Ibn
Bajjah (478-503 H/1099-1124 M), Ibn Thufail (w. 581 H/1185 M), 5 dan Ibn Rusyd
(w. 600 H/1217 M).
Secara umum, ciri filsafat mereka
tidak jauh dari filsafat Yunani yang didominasi oleh Plato dan muridnya,
Aristoteles. Baik pandangan al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajjah, Ibn
Thufail maupun Ibn Rusyd, semuanya nyaris hanya membela pandangan Plato atau
Aristoteles. Kadang-kadang mereka terlibat untuk mengkompromikan kedua
pandangan tokoh ini, seperti yang dilakukan oleh al-Farabi, atau bahkan mencoba
mengkompromi-kan Islam dengan pandangan kedua filosof Yunani tersebut, seperti
yang dilakukan oleh al-Kindi 6 atau Ibn Rusyd. 7 Karena itu, tepat sekali apa
yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa mereka hanyalah para
penjiplak (al-muntahilûn). Artinya, apa yang mereka tulis itu bukan merupakan
pemikiran mereka sendiri, melainkan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh para
filosof Yunani sebelumnya. Jumlah mereka, kata an-Nabhani, tidak banyak,
sehingga pandangan-pandangan mereka tidak menjadi arus utama pemikiran umat
Islam pada zamannya.
Sementara itu, filsafat Persia dan
India juga berkembang di Dunia Islam, terutama setelah ditaklukkannya kedua
wilayah tersebut pada zaman permulaan Islam. Hanya saja, kalau filsafat Yunani
telah melahirkan para filosof Muslim, maka filsafat Persia dan India tidak.
Salah satu faktornya adalah karena minimnya referensi kedua filsafat tersebut—kalau
tidak boleh dibilang tidak ada—yang bisa dikaji oleh kaum Muslim.
Adakah Filsafat dalam Islam?
Secara harfiah, istilah filsafat itu berasal dari kata philosophia.
Menurut Ibn Nadim (w. 380 H/985 M), mengutip keterangan Plutarch (± 100 M), istilah
ini mula-mula digunakan oleh Phytagoras (572-497 SM), 8 yang kemudian diarabkan
menjadi al-falsafah. Kemungkinan yang mengarabkan pertama kali adalah Yahya bin
al-Baitriq (w. 200 H/815 M), penerjemah buku Timeaus, karya Plato. Sebab, kata
philosophy (Arab: falsafah) itu ada di dalam buku tersebut. 9 Hanya saja, bukti
yang paling otentik penggunaan istilah tersebut dapat ditemukan dalam Kitab
al-Falsafah al-Ulâ fî mâ dûna ath-Thabi‘iyyah wa at-Tawhîd, karya al-Kindi. 10
Philosophia itu sendiri berasal dari
bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu philos dan sophia. Philos artinya cinta; atau
philia berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau keterikatan
pada. Sophia berarti hikmah (wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian,
pengalaman praktis, dan intelegensi. 11
Philosophia, menurut al-Syahrastani
(w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan
orangnya (faylasuf) disebut muhibb al-hikmah (orang yang mencintai
kebijaksanaan). 12 Ini seperti yang dinyatakan oleh Socrates dalam Mukhtashar
Kitâb at-Tuffâhah (Ringkasan Kitab Apel). 13
Secara khusus, hikmah (wisdom) ini
kemudian dibagi menjadi dua: qawliyyah (intelektual) dan ‘amaliyyah (praktis).
14 Sebab, kebahagiaan (happiness) yang dikehendaki oleh filosof adalah substansinya;
virtuous activity is identical with happiness (melakukan kebaikan adalah
identik dengan kebahagiaan). 15 Kebahagiaan itu sendiri hanya bisa diraih
melalui wisdom, baik dengan mengetahui kebenaran (knowledge of the good) maupun
melaksanakan kebaikan (virtuous activity). 16
Istilah filsafat ini kemudian
digunakan oleh al-Kindi dengan konotasi: pengetahuan tentang hakikat sesuatu
sesuai dengan kemampuan manusia. 17 Al-Farabi menyebutnya sebagai pengetahuan
tentang eksistensi itu sendiri. 18 Al-Khawarizmi menyebutnya pengetahuan
tentang hakikat benda dan perbuatan yang berkaitan dengan mana yang lebih baik
sehingga dapat diklasifikasikan: yang teoretis (nazhari) dan yang praktis
(‘amali). 19
Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan, bahwa filsafat itu bukan merupakan pengetahuan an sich, tetapi
juga merupakan cara pandang tentang berbagai hal, baik yang bersifat teoretis
maupun praktis. Secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran
(al-h aq)? Secara praktis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan
(al-khayr)? Dari dua spektrum inilah kemudian filsafat merambah ke berbagai
wilayah kehidupan manusia, sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutifnya.
Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H/1350 M)
berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham (isme) di luar agama para nabi.
Disamping itu, filsafat memang ajaran yang murni dihasilkan oleh akal manusia.
20
Jika demikian faktanya, maka jelas
filsafat itu—baik sebagai ajaran maupun pengetahuan—tidak ada dalam Islam. Sebab,
Islam telah mengajarkan tentang al-h aq (kebenaran) dan al-khayr (kebaikan),
termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga
telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang
dihasilkannya. Tentang yang terakhir ini, barangkali dapat merujuk buku
at-Tafkîr karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.
Dampak Filsafat Terhadap Kemunduran Umat Islam
Harus ditegaskan kembali, bahwa
pemikiran filosof pada zaman Kekhilafahan Islam memang bukan merupakan arus
utama. Namun, pola berpikir mereka, khususnya penggunaan logika (mantik), telah
merambah hampir ke seluruh bidang; mulai dari bidang akidah, usul fikih hingga
tasawuf—meski fikih tetap harus dikecualikan dari penggunaan logika tersebut.
Di bidang akidah, penggunaan logika
(mantik) ini telah melahirkan perdebatan panjang di kalangan para ulama
usuluddin sehingga melahirkan ilmu kalam. Lahirnya ilmu kalam bukannya
mengakhiri masalah, tetapi justru sebaliknya. Ilmu kalam inilah yang
menyebabkan akidah kaum Muslim diwarnai dengan perdebatan demi perdebatan.
Akibatnya, akidah mereka telah kehilangan substansinya sebagai pondasi. Sebab,
akidah tersebut telah oleng. Para ulama ushuluddin yang juga ulama ushul fikih
itu kemudian membawa pola berpikir tersebut dalam bidang ushul fikih.
Perdebatan tentang hasan, qabîh, khayr, syarr, sampai muqaddimah (premis) pun
terbawa. Karena itu, tidak pelak lagi, ushul fikih pun dipenuhi dengan
perdebatan ala mutakallimin. Akibatnya, ushul fikih tersebut telah kehilangan
substansinya sebagai kaidah (pondasi), yang digunakan untuk menggali hukum.
Fenomena pertama, diakui atau tidak,
telah menyebabkan hilangnya gambaran kaum Muslim tentang qadhâ' dan qadar,
takdir, surga, neraka, serta keimanan yang bulat kepada Allah. Kondisi ini
diperparah dengan pandangan sufisme—yang banyak dipengaruhi filsafat Persia dan
India—seputar kehidupan panteistik, asketik, dan lain-lain. Semuanya ini pada
gilirannya menyebabkan disorientasi kehidupan kaum Muslim.
Kemudian, fenomena kedua telah menyebabkan
hilangnya ketajaman intelektual kaum Muslim dalam menyelesaikan persoalan. Daya
kreativitas mereka menjadi tumpul. Ushul fikih berkembang, tetapi ijtihad
mandeg; bukan semata-mata karena adanya seruan ditutupnya pintu ijtihad, tetapi
juga karena hilangnya vitalitas ushul fikih sebagai kaidah istinbâth
(penggalian hukum).
Setelah semuanya itu, maka
sempurnalah kejumudan kaum Muslim sehingga mereka tidak mampu menyelesaikan
berbagai persoalan baru yang silih berganti, yang mereka hadapi. Bertambahnya
wilayah baru pada zaman Khilafah Utsmaniyah, diakui atau tidak, telah
memunculkan persoalan baru. Akan tetapi, karena kemampuan ijtihad itu telah
hilang, masalah pun akhirnya menumpuk. Beban mereka pun semakin hari semakin
berat. Karena itu, ketika Barat bangkit dengan renaissance-nya, mereka pun
bingung: menerima kemajuan Barat, dengan segala produknya, atau menolaknya.
Pada saat itu, ada yang secara ekstrem menolak segala produk Barat, dan ada
yang sebaliknya. Hanya saja, tidak ada satupun di antara mereka yang bisa
membedakan: mana tsaqâfah, dan mana ‘ulûm; mana hadhârah dan mana madaniyah.
Seiring dengan kakalahan kelompok
yang pertama, maka semua produk Barat mulai diambil oleh kaum Muslim, mulai
yang bersifat fisik sampai non-fisik. Dari sanalah, perundang-undangan ala
Barat mulai diperkenalkan kepada kaum Muslim. Lalu model fikih taqnîn (yang
berbentuk undang-undang dengan pasal perpasal) pun mulai muncul; sebut saja
kitab al-Ahkâm al-'Adliyyah. Setelah itu, perundang-undangan Barat mulai masuk
dan menggantikan perundang-undangan Islam. Kemudian terjadilah pemisahan
mahkamah menjadi: sipil dan syariah. Demikian seterusnya hingga sedikit demi
sedikit hukum Islam pun lenyap dari peredaran dan tidak lagi diterapkan, selain
dalam bidang ahwâl syakhshiyah.
Selanjutnya, tepat pada tanggal 3
Maret 1924 M, pemberlakukan hukum Islam pun diakhiri dengan dibubarkannya
institusi Khilafah, dan dibekukannya Islam oleh Kamal Attaturk. Setelah itu,
sampai saat ini, kehidupan kaum Muslim terus terpuruk. Wallâhu a‘lam.
Catatan Kaki:
1. Abu Hanifah mengatakan, “Allah Swt. adalah satu (yang diketahui)
bukan melalui angka, tetapi dengan cara, bahwa Dia tidak mempunyai sekutu.”
Lihat: Abu Hanifah, Matan al-Fiqh al-Akhbar, hlm. 323. Ini melanjutkan
perdebatan Plato tentang angka, apakah angka merupakan substansi atau aksiden.
Untuk keluar dari perdebatan tersebut, kelihatannya Abu Hanifah menggunakan
jawaban taktis di atas.
2. Menurut Ibn Sina, mantiq (logika) meliputi sembilan bagian. Pertama,
pembahasan tentang pembagian lafal dan makna, yang dijelaskan dalam kitab yang
populer dengan judul, al-Madkhal, karya Pirtoes. Kedua, pembahasan mengenai
makna angka tunggal, yang dijelaskan dalam kitab Categories, karya Aristoteles.
Ketiga, pembahasan mengenai susunan makna tunggal secara positif dan negatif,
yang dijelaskan dalam kitab On Interpretation, karya Aristoteles. Keempat,
pembahasan mengenai susunan proposisi, atau analogi, yang dijelaskan dalam
kitab Prior Analytics, karya Aristoteles. Kelima, pembahasan untuk mengetahui
secara mendalam mengenai syarat-syarat analogi dalam menyusun proposisi yang
menjadi premis-premisnya. Ini dijelaskan dalam kitab Ponethyca, karya
Aristoteles. Keenam, pembahasan mengenai analogi yang bermanfaat untuk
menyerukan kepada orang yang kurang paham. Ini dijelaskan dalam kitab Tonica,
karya Aristoteles. Ketujuh, pembahasan mengenai kesalahan berpikir yang terjadi
dalam penyusunan argumentasi dan penggunaan dalil, yang terangkum dalam kitab
On Sophistical Refutations, karya Aristoteles. Kedelapan, pembahasan yang
berisi standar pidato yang bermanfaat, yang terangkum dalam kitab Rethoric
karya Aristoteles. Kesembilan, pembahasan yang berisi ungkapan bersyair, yang
terangkum dalam buku Rethoric karya Aristoteles. Ibn Sina, Risâlah fî Aqsâm al-‘Ulûm
al-‘Aqliyyah, hlm. 271-272.
3. Ibn al-Nadim, al-Fihrist, hlm. 288, 299 dan 286.
4. Badawi, al-Falsafah, hlm. 156.
5. Ibn Tufayl, Hayy bin Yaqzhân, ed. Ahmad Amîn, Dar al-Ma‘arif, Mesir,
1952, hlm. 62.
6. Al-Kindi, Rasâ'il al-Kindi, hlm. 35 dan 36.
7. Ibn Rusyd, Fasl al-Maqâl fî mâ bayna al-Syari‘ah wa al-Hikmah min
al-Ittishâl, hlm. 33.
8. Ibn Nadim, al-Fihrist, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, hlm. 400.
9. Ibid. hlm. 402; Plato, Timeaus,
http://books.mirror.org/gb.plato.html., 19 November 2001.
10. Ibn Nadim, ibid, hlm. 415.
11. Tim Rosda, Kamus, hlm. 249.
12. Al-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, hlm. 364; Aristoteles,
Nicomachean Ethics, Book I, Part 6, http://books.mirror.org/gb.aristotle.html.,
19 November 2001.
13. Socrates, Mukhtashar Kitâb al-Tuffâhah al-Mansûb li Suqrâth, hlm.
222; Aristoteles, Kitâb al-Tuffâhah al-Mansûb li Aristhûtâlis, hlm. 234. Lihat:
Plato, Fîdûn wa Kitâb at-Tuffâhah, ed. Ali Sami an-Nasysyar dan Abbas
asy-Syarbini, Dar al-Ma‘rifah, Mesir, 1974, hlm. 222 dan 234.
14. Lihat: Aristoteles, Nicomachean Ethics,
http://books.mirror.org/gb.aristotle.html., 19 November 2001; Aristoteles,
Politics, http://books.mirror.org/gb.aristotle.html., 19 November 2001.
15. Aristoteles, Ibid.
16. Aristoteles, Prior Analytics,
http://books.mirror.org/gb.aristotle.html., 19 November 2001.
17. Al-Kindi, Rasâ'il al-Kindi al-Falsafiyyah, ed. Abu Ridah, Kairo,
1950, Juz I, hlm. 97.
18. Al-Farabi, al-Jam‘ Bayn Ra'yay al-Hakîmayn, ed. Albert Nashri Nader,
al-Mathba‘ah al-Kathulikah, Beirut, 1969, hlm. 81.
19. Klasifikasi ini dilakukan oleh Aristoteles, yang telah membagi
hikmah (wisdom) menjadi dua, yaitu praktis dan teoretis. Lihat: Aristoteles,
Nicomachean Ethics, Book I, Part 8 dan 13, http://books.mirror.org/gb.aristotle.html.,
19 November 2001.
20. Ibn Qayyim, Ighâthah al-Lahfân min Mashâyid al-Syaythân, ed.
Muhammad al-Faqqi, t.p., t.t., hlm. 257.