Entri yang Diunggulkan

RELASI NEGARA DAN HUKUM ISLAM

Prawacana; Setelah membaca tulisan ini diharapkan mahasiswa dapat:       Mengetahui dan memahami pemikirankenegaraan Perspektif I...

Sabtu, 27 Oktober 2012

Pengaruh Filsafat Terhadap Kemunduran Islam


Pengantar

Lahirnya filsafat di Dunia Islam memang tidak dapat dipisahkan dari tradisi ilmu kalam yang mendahuluinya. Sebelumnya, para mutakallimin memang telah menggunakan man t iq (logika) dalam tradisi kalam mereka, baik untuk membantah maupun menyusun argumentasi. Dalam hal ini, bukti paling akurat dapat dilacak dalam kitab al-Fiqh al-Akbar, karya Abu Hanifah (w. 147 H/768 M). 1 Selain menggunakan mantik, beliau juga menggunakan istilah filsafat, seperti jawhar (substabsi) dan ‘aradh (aksiden), yang notabene banyak digunakan Aristoles dalam buku-bukunya.
            Ini membuktikan, bahwa mantik sebagai teknik pengambilan kongklusi (kesimpulan) telah digunakan oleh ulama kaum Muslim pada abad ke-2 H/8 M. Hanya saja, ini tidak secara otomatis menunjukkan bahwa filsafat telah dikaji secara mendalam pada zaman itu. Bukti di atas hanya membuktikan pemanfaatan logika mantik dalam menghasilkan kongklusi. Kesimpulan ini juga tidak dapat digunakan untuk menarik kongklusi yang lebih luas mengenai kemungkinan logika telah dipelajari secara mendalam oleh para mutakallimin, sebagaimana logika yang diuraikan oleh Ibn Sina. 2 Sebab, bukti yang akurat menunjukkan, bahwa perkembangan pemikiran filsafat Yunani di negeri Islam baru terjadi setelah aktivitas penerjemahan pada zaman Abbasiyah.
            Meski demikian, penggunaan logika (mantik), diakui atau tidak, telah membuka celah masuknya filsafat di Dunia Islam. Karena itu, pasca generasi Washil, filsafat Yunani kemudian dipelajari secara mendalam oleh ulama Muktazilah, separti Dhirar bin Amr, Abu Hudhail al-‘Allaf, an-Nazhzham, dan lain-lain. Dari sinilah kemudian, lahir karya mereka, seperti Kitâb ar-Radd ‘alâ Aristhâlîs fî al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya Dhirar bin ‘Amr, Al-Jawâhir wa al-A‘râdh dan Tathbît al-A‘râdh, karya Abu Hudhail al-‘Allaf, Kitâb al-Manthiq dan Kitâb al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya an-Nazhzham. 3
            Di samping itu, penyebaran filsafat ini semakin meningkat, khususnya sejak al-Makmun, murid Abu Hudhail al-‘Allaf, tokoh Muktazilah Baghdad, mendirikan Baitul Hikmah tahun 217 H/813 M; sebuah pusat kajian filsafat yang dipimpin oleh Yuhana bin Masawih. Di kota ini juga al-Kindi (w. 260 H/873 M) banyak berinteraksi dengan para penerjemah filsafat dari bahasa Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab, seperti Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M) dan Ibn Na‘imah (w. 220 H/830 M). 4 Di sinilah al-Kindi juga dibesarkan sebagai filosof Arab yang pertama. Setelah itu, menyusul nama-nama seperti al-Farabi (w. 339 H/951 M) dan Ibn Sina (w. 428 H/1049 M). Mereka adalah para filosof yang hidup di Timur. Di Barat, lahir nama-nama seperti Ibn Bajjah (478-503 H/1099-1124 M), Ibn Thufail (w. 581 H/1185 M), 5 dan Ibn Rusyd (w. 600 H/1217 M).
            Secara umum, ciri filsafat mereka tidak jauh dari filsafat Yunani yang didominasi oleh Plato dan muridnya, Aristoteles. Baik pandangan al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajjah, Ibn Thufail maupun Ibn Rusyd, semuanya nyaris hanya membela pandangan Plato atau Aristoteles. Kadang-kadang mereka terlibat untuk mengkompromikan kedua pandangan tokoh ini, seperti yang dilakukan oleh al-Farabi, atau bahkan mencoba mengkompromi-kan Islam dengan pandangan kedua filosof Yunani tersebut, seperti yang dilakukan oleh al-Kindi 6 atau Ibn Rusyd. 7 Karena itu, tepat sekali apa yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa mereka hanyalah para penjiplak (al-muntahilûn). Artinya, apa yang mereka tulis itu bukan merupakan pemikiran mereka sendiri, melainkan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya. Jumlah mereka, kata an-Nabhani, tidak banyak, sehingga pandangan-pandangan mereka tidak menjadi arus utama pemikiran umat Islam pada zamannya.
            Sementara itu, filsafat Persia dan India juga berkembang di Dunia Islam, terutama setelah ditaklukkannya kedua wilayah tersebut pada zaman permulaan Islam. Hanya saja, kalau filsafat Yunani telah melahirkan para filosof Muslim, maka filsafat Persia dan India tidak. Salah satu faktornya adalah karena minimnya referensi kedua filsafat tersebut—kalau tidak boleh dibilang tidak ada—yang bisa dikaji oleh kaum Muslim.

Adakah Filsafat dalam Islam?

Secara harfiah, istilah filsafat itu berasal dari kata philosophia. Menurut Ibn Nadim (w. 380 H/985 M), mengutip keterangan Plutarch (± 100 M), istilah ini mula-mula digunakan oleh Phytagoras (572-497 SM), 8 yang kemudian diarabkan menjadi al-falsafah. Kemungkinan yang mengarabkan pertama kali adalah Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M), penerjemah buku Timeaus, karya Plato. Sebab, kata philosophy (Arab: falsafah) itu ada di dalam buku tersebut. 9 Hanya saja, bukti yang paling otentik penggunaan istilah tersebut dapat ditemukan dalam Kitab al-Falsafah al-Ulâ fî mâ dûna ath-Thabi‘iyyah wa at-Tawhîd, karya al-Kindi. 10
            Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu philos dan sophia. Philos artinya cinta; atau philia berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau keterikatan pada. Sophia berarti hikmah (wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis, dan intelegensi. 11
            Philosophia, menurut al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf) disebut muhibb al-hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan). 12 Ini seperti yang dinyatakan oleh Socrates dalam Mukhtashar Kitâb at-Tuffâhah (Ringkasan Kitab Apel). 13
            Secara khusus, hikmah (wisdom) ini kemudian dibagi menjadi dua: qawliyyah (intelektual) dan ‘amaliyyah (praktis). 14 Sebab, kebahagiaan (happiness) yang dikehendaki oleh filosof adalah substansinya; virtuous activity is identical with happiness (melakukan kebaikan adalah identik dengan kebahagiaan). 15 Kebahagiaan itu sendiri hanya bisa diraih melalui wisdom, baik dengan mengetahui kebenaran (knowledge of the good) maupun melaksanakan kebaikan (virtuous activity). 16
            Istilah filsafat ini kemudian digunakan oleh al-Kindi dengan konotasi: pengetahuan tentang hakikat sesuatu sesuai dengan kemampuan manusia. 17 Al-Farabi menyebutnya sebagai pengetahuan tentang eksistensi itu sendiri. 18 Al-Khawarizmi menyebutnya pengetahuan tentang hakikat benda dan perbuatan yang berkaitan dengan mana yang lebih baik sehingga dapat diklasifikasikan: yang teoretis (nazhari) dan yang praktis (‘amali). 19
            Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa filsafat itu bukan merupakan pengetahuan an sich, tetapi juga merupakan cara pandang tentang berbagai hal, baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran (al-h aq)? Secara praktis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan (al-khayr)? Dari dua spektrum inilah kemudian filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutifnya. Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H/1350 M) berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham (isme) di luar agama para nabi. Disamping itu, filsafat memang ajaran yang murni dihasilkan oleh akal manusia. 20
            Jika demikian faktanya, maka jelas filsafat itu—baik sebagai ajaran maupun pengetahuan—tidak ada dalam Islam. Sebab, Islam telah mengajarkan tentang al-h aq (kebenaran) dan al-khayr (kebaikan), termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang dihasilkannya. Tentang yang terakhir ini, barangkali dapat merujuk buku at-Tafkîr karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.
           

Dampak Filsafat Terhadap Kemunduran Umat Islam

            Harus ditegaskan kembali, bahwa pemikiran filosof pada zaman Kekhilafahan Islam memang bukan merupakan arus utama. Namun, pola berpikir mereka, khususnya penggunaan logika (mantik), telah merambah hampir ke seluruh bidang; mulai dari bidang akidah, usul fikih hingga tasawuf—meski fikih tetap harus dikecualikan dari penggunaan logika tersebut.
            Di bidang akidah, penggunaan logika (mantik) ini telah melahirkan perdebatan panjang di kalangan para ulama usuluddin sehingga melahirkan ilmu kalam. Lahirnya ilmu kalam bukannya mengakhiri masalah, tetapi justru sebaliknya. Ilmu kalam inilah yang menyebabkan akidah kaum Muslim diwarnai dengan perdebatan demi perdebatan. Akibatnya, akidah mereka telah kehilangan substansinya sebagai pondasi. Sebab, akidah tersebut telah oleng. Para ulama ushuluddin yang juga ulama ushul fikih itu kemudian membawa pola berpikir tersebut dalam bidang ushul fikih. Perdebatan tentang hasan, qabîh, khayr, syarr, sampai muqaddimah (premis) pun terbawa. Karena itu, tidak pelak lagi, ushul fikih pun dipenuhi dengan perdebatan ala mutakallimin. Akibatnya, ushul fikih tersebut telah kehilangan substansinya sebagai kaidah (pondasi), yang digunakan untuk menggali hukum.
            Fenomena pertama, diakui atau tidak, telah menyebabkan hilangnya gambaran kaum Muslim tentang qadhâ' dan qadar, takdir, surga, neraka, serta keimanan yang bulat kepada Allah. Kondisi ini diperparah dengan pandangan sufisme—yang banyak dipengaruhi filsafat Persia dan India—seputar kehidupan panteistik, asketik, dan lain-lain. Semuanya ini pada gilirannya menyebabkan disorientasi kehidupan kaum Muslim.
            Kemudian, fenomena kedua telah menyebabkan hilangnya ketajaman intelektual kaum Muslim dalam menyelesaikan persoalan. Daya kreativitas mereka menjadi tumpul. Ushul fikih berkembang, tetapi ijtihad mandeg; bukan semata-mata karena adanya seruan ditutupnya pintu ijtihad, tetapi juga karena hilangnya vitalitas ushul fikih sebagai kaidah istinbâth (penggalian hukum).
            Setelah semuanya itu, maka sempurnalah kejumudan kaum Muslim sehingga mereka tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan baru yang silih berganti, yang mereka hadapi. Bertambahnya wilayah baru pada zaman Khilafah Utsmaniyah, diakui atau tidak, telah memunculkan persoalan baru. Akan tetapi, karena kemampuan ijtihad itu telah hilang, masalah pun akhirnya menumpuk. Beban mereka pun semakin hari semakin berat. Karena itu, ketika Barat bangkit dengan renaissance-nya, mereka pun bingung: menerima kemajuan Barat, dengan segala produknya, atau menolaknya. Pada saat itu, ada yang secara ekstrem menolak segala produk Barat, dan ada yang sebaliknya. Hanya saja, tidak ada satupun di antara mereka yang bisa membedakan: mana tsaqâfah, dan mana ‘ulûm; mana hadhârah dan mana madaniyah.
            Seiring dengan kakalahan kelompok yang pertama, maka semua produk Barat mulai diambil oleh kaum Muslim, mulai yang bersifat fisik sampai non-fisik. Dari sanalah, perundang-undangan ala Barat mulai diperkenalkan kepada kaum Muslim. Lalu model fikih taqnîn (yang berbentuk undang-undang dengan pasal perpasal) pun mulai muncul; sebut saja kitab al-Ahkâm al-'Adliyyah. Setelah itu, perundang-undangan Barat mulai masuk dan menggantikan perundang-undangan Islam. Kemudian terjadilah pemisahan mahkamah menjadi: sipil dan syariah. Demikian seterusnya hingga sedikit demi sedikit hukum Islam pun lenyap dari peredaran dan tidak lagi diterapkan, selain dalam bidang ahwâl syakhshiyah.
            Selanjutnya, tepat pada tanggal 3 Maret 1924 M, pemberlakukan hukum Islam pun diakhiri dengan dibubarkannya institusi Khilafah, dan dibekukannya Islam oleh Kamal Attaturk. Setelah itu, sampai saat ini, kehidupan kaum Muslim terus terpuruk. Wallâhu a‘lam.
           
Catatan Kaki:

   1. Abu Hanifah mengatakan, “Allah Swt. adalah satu (yang diketahui) bukan melalui angka, tetapi dengan cara, bahwa Dia tidak mempunyai sekutu.” Lihat: Abu Hanifah, Matan al-Fiqh al-Akhbar, hlm. 323. Ini melanjutkan perdebatan Plato tentang angka, apakah angka merupakan substansi atau aksiden. Untuk keluar dari perdebatan tersebut, kelihatannya Abu Hanifah menggunakan jawaban taktis di atas.
   2. Menurut Ibn Sina, mantiq (logika) meliputi sembilan bagian. Pertama, pembahasan tentang pembagian lafal dan makna, yang dijelaskan dalam kitab yang populer dengan judul, al-Madkhal, karya Pirtoes. Kedua, pembahasan mengenai makna angka tunggal, yang dijelaskan dalam kitab Categories, karya Aristoteles. Ketiga, pembahasan mengenai susunan makna tunggal secara positif dan negatif, yang dijelaskan dalam kitab On Interpretation, karya Aristoteles. Keempat, pembahasan mengenai susunan proposisi, atau analogi, yang dijelaskan dalam kitab Prior Analytics, karya Aristoteles. Kelima, pembahasan untuk mengetahui secara mendalam mengenai syarat-syarat analogi dalam menyusun proposisi yang menjadi premis-premisnya. Ini dijelaskan dalam kitab Ponethyca, karya Aristoteles. Keenam, pembahasan mengenai analogi yang bermanfaat untuk menyerukan kepada orang yang kurang paham. Ini dijelaskan dalam kitab Tonica, karya Aristoteles. Ketujuh, pembahasan mengenai kesalahan berpikir yang terjadi dalam penyusunan argumentasi dan penggunaan dalil, yang terangkum dalam kitab On Sophistical Refutations, karya Aristoteles. Kedelapan, pembahasan yang berisi standar pidato yang bermanfaat, yang terangkum dalam kitab Rethoric karya Aristoteles. Kesembilan, pembahasan yang berisi ungkapan bersyair, yang terangkum dalam buku Rethoric karya Aristoteles. Ibn Sina, Risâlah fî Aqsâm al-‘Ulûm al-‘Aqliyyah, hlm. 271-272.
   3. Ibn al-Nadim, al-Fihrist, hlm. 288, 299 dan 286.
   4. Badawi, al-Falsafah, hlm. 156.
   5. Ibn Tufayl, Hayy bin Yaqzhân, ed. Ahmad Amîn, Dar al-Ma‘arif, Mesir, 1952, hlm. 62.
   6. Al-Kindi, Rasâ'il al-Kindi, hlm. 35 dan 36.
   7. Ibn Rusyd, Fasl al-Maqâl fî mâ bayna al-Syari‘ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl, hlm. 33.
   8. Ibn Nadim, al-Fihrist, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, hlm. 400.
   9. Ibid. hlm. 402; Plato, Timeaus, http://books.mirror.org/gb.plato.html., 19 November 2001.
  10. Ibn Nadim, ibid, hlm. 415.
  11. Tim Rosda, Kamus, hlm. 249.
  12. Al-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, hlm. 364; Aristoteles, Nicomachean Ethics, Book I, Part 6, http://books.mirror.org/gb.aristotle.html., 19 November 2001.
  13. Socrates, Mukhtashar Kitâb al-Tuffâhah al-Mansûb li Suqrâth, hlm. 222; Aristoteles, Kitâb al-Tuffâhah al-Mansûb li Aristhûtâlis, hlm. 234. Lihat: Plato, Fîdûn wa Kitâb at-Tuffâhah, ed. Ali Sami an-Nasysyar dan Abbas asy-Syarbini, Dar al-Ma‘rifah, Mesir, 1974, hlm. 222 dan 234.
  14. Lihat: Aristoteles, Nicomachean Ethics, http://books.mirror.org/gb.aristotle.html., 19 November 2001; Aristoteles, Politics, http://books.mirror.org/gb.aristotle.html., 19 November 2001.
  15. Aristoteles, Ibid.
  16. Aristoteles, Prior Analytics, http://books.mirror.org/gb.aristotle.html., 19 November 2001.
  17. Al-Kindi, Rasâ'il al-Kindi al-Falsafiyyah, ed. Abu Ridah, Kairo, 1950, Juz I, hlm. 97.
  18. Al-Farabi, al-Jam‘ Bayn Ra'yay al-Hakîmayn, ed. Albert Nashri Nader, al-Mathba‘ah al-Kathulikah, Beirut, 1969, hlm. 81.
  19. Klasifikasi ini dilakukan oleh Aristoteles, yang telah membagi hikmah (wisdom) menjadi dua, yaitu praktis dan teoretis. Lihat: Aristoteles, Nicomachean Ethics, Book I, Part 8 dan 13, http://books.mirror.org/gb.aristotle.html., 19 November 2001.
  20. Ibn Qayyim, Ighâthah al-Lahfân min Mashâyid al-Syaythân, ed. Muhammad al-Faqqi, t.p., t.t., hlm. 257.

Senin, 01 Oktober 2012

INSTITUSI SOSIAL


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
            Norma dan hukum merupakan suatu controlling dari suatu sistem Sosial yang berinteraksi pada semua lingkungan masyarakat yang tidak terbatas oleh sekat-sekat status social yang menjadi suatu kendala dari penegak hukum di suatu wilaya tertentu, namun yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimana menjalankan institusi yang menjadikan penggerak sekaligus penegak hukum. Kebanyakan di Indonesia sendiri menggunakan hukum dan norma yang berdasarkan persepsi sendiri dengan kata lain masyarakat Indonesia men-justification masyarakat dan menentukan suatu sikap social yang didasari dari pendapat yang menjadi suatu pembenarana.
B.   Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis merumuskan masalah dengan bentu point per point, diantaranya
1.      Apa yang dimaksud dengan institusi social  ?
2.      Apa yang di maksud dengan stratifikasi Norma  ?
3.      Apa hubungan institusi social dan stratifikasi norma ?
C.   Metode

Untuk menjadikan makalah ini penulis menempuh beberapa metode yang di gunakan sebagai sumber data yang dibutuhkan antara lain :
1.      Studi reading
Yaitu metode yang menggunakan cara membaca dari buku-buku sumber yang berkaitan dengan permasalahan.
2.      Studi Dunia Maya
Yaitu pencarian sumber data yang dibutuhkan yang di tempuh dengan cara pencarian di Dunia Maya {Internet}.
BAB II
NORMA, INSTITUSI SOSIAL, DAN STRATIFIKASI NORMA
1. Pengertian
A. Institusi Sosial
Dalam bahasa Inggris di jumpai dua istilah yang mengacu pada pengertian institusi (lembaga), yaitu institute dan institution. Istilah pertama menekankan kepada pengertian institusi sebagai sarana dan organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan istilah kedua menekankan pada pengertian institusi sebagai suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan
Istilah lembaga kemasyarakatan merupakan pengalih bahasaan dari istilah Inggris, social institution. Akan tetapi Soejono Soekanto menjelaskan bahwa sampai saat ini belum ada kata sepakat mengenai istilah Indonesia yang khas dan tepat untuk menjelaskan istilah tersebut. Ada yang mengatakan bahwa padanan yang tepat untuk istilah itu ialah pranata sosial yang didalamnya terdapat unsur-unsur yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat. Pranata sosial yang di tuturkan oleh Koentjaraningrat, adalah suatu sistem tata kelakuan dan tata hubungan yang berpusat pada sejumlah aktivitas masyarakat[1].dengan demikian menurut beliau, lembaga kemasyarakatan ialah sistem tata  kelakuan atau norma untuk memenuhi kebutuhan. Ahli sosiologi lain berpendapat bahwa ari social institution ialah bangunan sosial.
Pengertian-pengertian social institution yang dikutip oleh Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut.
Menurut Robert Mac Iver dan Charles H. Page, social institution ialah tata cara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan.
Howard Becker mengartikan social istitution dari sudut fungsinya. Menurutnya ian merupakan jaringan dari proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi meraih dan memelihara kehidupan hidup mereka.
Summer melihat social institution dari sisi kebudayaan. Menurut dia, ini merupakan perbuatan, cita-cita, sikap dan perlengkapan kebudayaan yang mempunyai sifat kekal yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dari paparan singkat mengenai institusi, dapat disimpulkan bahwa institusi mempunyai dua pengertian: pertama , sistem norma yang mengandung arti pranata; kedua, bangunan. Menurut Summer, sebagaiman dikutipoleh Selo Soemarjan dan Soelaeman soemardi,yaitu  an institution consist a concept idea, nation, doctrin, interest and a structure (suatu institisi terdiri atas konsep tentang cita-cita,minat, doktrin, kebutuhan, dan struktur).
Sebagai sebuah norma institusi bersifat mengikat. Ia merupak aturan yang mengatur  warga kelompok dimasyarakat. Di samping itu ia pun merupakan pedoman dan tolak ukur untuk membandingkan dan mengukur sesuatu.
Norma-norma yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, berubah sesuai dengan keperluan dan kebutuhan manusia. Maka lahirlah umpanya, kelompok norma yang menimbulkan institusi keluarga dan institusi perkawinan; kelompok norma pendidikan yang menghasilkan insstitusi pendidikan;kelompok norma norma yamg membentuk institusi norma; seperti peradilan; kelompok norma agam yang membentuk institusi keagamaan.
Dilihat dari daya mengikatnya, secara sosiologis norma-norma tersebut dapat dibedakan menjadi empat macam; pertama, tingkatan cara (usage); kedua, kebiasaan (folkways); ketiga, tata kelakuan (mores); keempat, adapt istiadat (custom)
Usage menunjuk pada suatu bentuk perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Kekuatan mengikat norma ini paling lemah dibandingkan dengan ketiga norma yang lainnya. Folkways merupakan perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama; menggambarkan bahwa kegiatan tersebut disenabgi banyak orang. Daya ikat norma ini lebih kuat daripada usage; contohnya memberi hormat kepada yang lebih tua. Tidak memberi hormat kepada yang lebih tua dianggap suatu penyimpangan.
Apabila suatu kebiasaan dianggap sebagaicara berprilaku, bahkan dianggap dan diterima sebagai norma pengatur, maka kebiasaan meningkat menjadi tahapan mores.  Ia merupakan alat pengawas bagi perilaku masyarakat yang daya ikatnya lebih kuat daipada folkways dan usage.
Norma tata kelakuan yang terus menerus dalakukan sehingga integrasinya menjadi sangat kuat dengan pola-pola perilaku masyarakat, daya ikatnya akan lebih kuat dan meningkat ketahapan custom. Dengan demikian, warga masyarakat yang melanggar custom akan menderiata karena mendapat sanksi yang keras dari masyarakat[2].
Di dalam uraian telah disinggung, bahwa pergaulan hidup dalam masyarakat diatur oleh kaidah-kaidah dengan tujuan untuk mencapai tata tertib. Di dalam perkembangan selanjutnya kaidah tersebut berkelompok-kelompok berbagai keperluan pokok dari kehidupan manusia seperti kebutuhan hidup kekerabatan, kebutuhan pencarian hidup, kebutuhan akan pendidikan, kebutuhan untuk menyatakan keindahan, kebutuhan jasmaniiah diri, manusia, dan lain sebagainya.
Dari contoh yang telah diuraikan dapat diambil suatu kesimpulan bahwa lembaga-lembaga kemayarakatan terdapat didalam setiap masyarakat, karena setiap masyarakat tentu mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok ynag apabila dikelompokkan, terhimpun menjadi lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam berbagai bidan kehidupan.dengan demikian maka suatu lembaga kemasyarakatan merupakan himpuna daripada kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, maka lembaga-lembaga kemasyarakatan mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
1.                  untuk memberikan pedoman kepada masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan pokok.
2.                  untuk menjaga keutuhan masyarakat yang beersangkutan
3.                  memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial[3].

Dari penjelasan singkat tersebut terlihat nyata, bahwa tidak semua kaidah merupakan lembaga-lembaga kemasyarakatan,hanya yang mengatur kebutuhan pokok saja yang merupakan lembaga kemasyarakatan. Artinya bahwa kaidah-kaidah tersebur harus mengalami proses pelembagaan (institution nalization) terlebih dahulu, yaitu suatu proses yang dilewati oleh suatu kaidah yang baru untuk menjalanu bagian salah satu lembaga kemasyarakatan. Yang dimaksud disini ialah agar kaidah tadi diketahui, dimengerti, ditaati, dan dihargai dalam kehidupan sehari-hari. Proeses pelembagaan sebenarnya tidak berhenyi demikian saja, akan tetapi dapt berlangsung lebih jauh sehingga suatu kaidah tidak saja melembaga akan tetapi bahkan menjiwai bahkan mendarah daging pada masyarakat.

B. Stratifikasi Sosial dan Norma
            Stratifikasi sosial disini diartikan sebagai perbedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas  secara bertingkat atau secata hierarkis. Oleh karena itu, para ahli sosiologi norma biasanya mengemukakan suatu hipotesis bahwa semakain komplek stratifikasi sosial dalammasyarakat, semakin banyak normayang mengaturnya. Statifikasi sosial yang dimaksud, diartikan sebagai suatu keadaan yang mempunyai tolok ukur  yang banyak atau ukuran yang dipergunakan sebagai indicator untuk mendudukan seseorang kedalam posisi sosial tertentu.
            Sudah menjadi kenyataan yang tidak asing lagi, bahwa norma merupaka salah satu gejala sosial sama halnya dengan ekonomo, politik, pendidikan, dan seterusnya. Bahwa telah disadari norma dan gejala sosial lainnya saling mempengaruhi. Namun, disatu pihak, norma dapat norma dapat dipelajari tersendidri terlepas dari gejala sosial lainnya dan di pihak lain ada yang lebih senang mempelajari hukun dan kaitannya dengan gejala sosial lainnya.
Dalam setiap masyarakat pasti ada sesuatu yang dihargai. Sesuatu yang dimaksud akan melahirkan suatu system sosial yang berlapis-lapis atau stratifikasi sosial pada masarakat yang dimaksud. Stratifikasi sosial ialah perbedaan penduduk secara bertingkat-tingkat berdasarkan hierarkinya. Suatu contoh: masyarakat Bali mempunyai beberapa kasta. Kasta-kasta dimaksud, antara satu dengan yang lainnya tidak pernah sederajat. Selain itu dapat pula diungkapkan bahwa dalam masyarakat di Sulawesi Tengah tampak adanya masyarakat yang kaya, miskin, dan masyarakat menengah.
C. Hubungan Institusi Sosial, Stratifikasi Sosial dengan Norma
Masalah yang dapat timbul darihubungan antara lembaga-lembaga kemasyarakatan dengan norma ialah pertama-tama, dapatkah norma dianggap sebagai lembaga kemasyarakatan? Dengan melihat bahwa norma merupakan kumpulan kaidah-kaidah yang bertujuan untuk mencapai suatu kedamaian, maka dapat dikatakan bahw norma daharapkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ketertban dan ketentraman, yang merupakan suatu kebutuhan pokok masyarakat. Bahwa norma merupakan lembaga kemasyarakatan, karena disamping sebagai gejala sosial (das sein), hukm juga mengandung unsure-unsur yang ideal (das sollen). Apabila telah dicapai kesepakatan bahwa norma dakatakan sebagai lembaga kemasyarakatan, maka pertanyaan berikutnya ialah apakah hubungan norma dengan lembaga kemasyarakatan lainnya?
            Pertanyaan tersebut diatas dapat dijawab dengan menelaah macam-macam lembaga kemasyarakatan yang dapat dijumpai dalam lingkungan masyarakat. Bernacam-macam lembaga kemasyarakatantersebut antara lain disebabkan karena adanya klasifikasi tipe-tipe lembaga kemasyarakatan. Tipe-tipe lembaga kemasyarakatan tersebut dapat diklasifikasikan dari berbagai sudut. Menurut Gillin dan Gilin adalah sebagai beriut :
  1. Dari sudut perkembangannya dikenal dengan adanya crescive institution dan enacted institution. Crescive institution merupakan lembaga utama yang dengan sendririnya tumbuh  dari adapt istiadat masyarakat. Sebaliknya, enacted institution, dengan sengaja dibentuk untuk memenuhi tujuan tertentu, tetapi yang tetap didasari pada kebiasaan-kebiasaan di dalam masyarakat. Pengalaman di dalam melaksanakan kebiasaan tersebut kemudian disistemanisir yang kemudian diatur dan dituangkan kedalam lembaga yang di sahkan oleh penguasa.
  2. Daru sudut system nilai yang diterima masyarakat, timbul klasifikasi atau basic institution dan subsidiary institution. Basic instiution dianggap lembaga kemasyarakatan yang amat pentibg untuk memelihara dan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat. Sebaliknya subsidiary institution dianggap kurang penting, misalnya kegiatan-kegiatan untuk rekreasi. Ukuran apa yang embedakan apakah suatu lembaga masyarakat dianggap sebagai basic atau subsidiary berbeda pada masing-masing masyarakat dan ukuran tersebut juga tergantung pada masyarakat hidup.
  3. Dari sudut penerimaan masyarakat dapat dibedakan antara approved atau socilly sanctioned institution dengan unsanctioned institution. Yang pertama merupakan lembaga yang diterima oleh masyarakat, sedangkan yang kedua merupakan lembaga yang ditolak oleh masyarakat, walaupun kadang-kadang masyarakat tidak berhasil untuk memberantasnya.
  4. Perbedan anatara general institution dengan restricted institution terjadi apabila klasifikasi didasarkan pada factor penyebarannya.
  5. Dari sudut fungsinya, terdapat perbedaan antara operative instistution dengan regulative institution. Yang pertama berfungsi sebagai lembaga yang menghimpun pola-pola atau tata catra yang dipeerlukan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan, sedangkan yang kedua bertujun untuk mengawasi tata kelakuan yang tidak menjadi bagian mutlak dari lmbaga itu sendiri
Setiap masyarakat yang mempunya system nilai-nilai yang menentukan lembgaga kemasyarakatan manakah yang dianggap sebagai pusat dari pergaulan hidup masyarakat yang kemudian dianggap sebagai lembagai sebagai posisi teratas.
Dengan melihat uraian diatas, maka tidak mudah untuk menentukan hubungan norma denga lembaga kemasyakatan yang lain terutama dal menentukan hubungan timbale baik yang ada. Hal ini bergantung pada nilai masyarakat dan pusat perhatian penguasa terhadap aneka lembaga kemasyarakatan.
           




BAB III
PENUTUP
            Dengan kata lain institusi social merupakan suatu  controlling dari siakp social dengan berbentukan suatu lembaga dari pemerintah yang memiliki legalisasi penegakan norma  yang dapat  dijadikan landasan  berinteraksi dalam bermasyarakat agar terciptanya suatu lingkungan masyarakat yang  nyaman.
A.   KESIMPULAN
  1. Institusi social adalah tata cara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan.
  2. Secara garis besar stratifikasi Norma dapat diartikan sebagai Perbedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas  secara bertingkat atau secata hierarkis.
  3. Dengan demikian institusi social dan stratifikasi Norma sangatlah diperlukan untuk menata dan mengatur masyarakat agar terciptanya suatu sistem social yang baik.





[1] Atang abd hakim, msi
[2] Selo Soemarjan dan Soelaiman Soemardi msi dap pustaka
[3] Soerjono Soekanto hal78