BAB
I
PENDAHULUAN
Hukum perang
atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter internasional, atau hukum
sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia,
atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Dalam sejarahnya hukum humaniter
internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di
seluruh dunia.
Perkembangan
modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu,
negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang
berdasarkan pengalaman- pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum
humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan
dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya
komunitas internasional, sejumlah negara di seluruh dunia telah memberikan
sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter
internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.
Pada umumnya
aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama.
Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa
bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua Negara atau
peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang
adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil,
anak-anak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Humaniter
Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International
Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai
hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum
sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal
dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum humaniter sendiri dalam
kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah
ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of Government
Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun
1971.
Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat
rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter, diantaranya:
Mochtar
Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan
korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri
dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”
S.R Sianturi :“Hukum
yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau
lebih pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak
diakui oleh salah satu pihak.“
Panitia tetap
hukum humaniter, departemen hukum dan perundang-undangan merumuskan sebagai berikut
: “Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah dan ketentuan internasional,
baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup hukum perang dan hak asasi
manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat
seseorang.”
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, Hukum Humaniter
Internasional adalah seperangkat aturan yang karena alasan kemanusiaan dibuat untuk
membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka
yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan
metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang
(laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict).
Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum internasional
adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. Hukum internasional dapat
ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negara-negara yang
sering disebut traktat atau konvensi dan secara prinsip dan praktis negara
menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan demikian, maka hukum humaniter
tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian
internasional, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang
terjadi dan diakui.
B.
Tujuan Hukum Humaniter
Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk
mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi karena
alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan
individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik
bersenjata diperbolehkan. Dengan alasan-alasan ini, kadang-kadang hukum
humaniter disebut sebagai ”peraturan tentang perang berperikemanusiaan”. Hukum
humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih
memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan
bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Oleh karena itu,
perkembangan hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata dan kemudian
menjadi hukum humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak
dicapai oleh hukum humaniter tersebut, yaitu :
1.
Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil
dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).
2.
Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang
jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan
dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.
3.
Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas.
Disini yang terpenting adalah asas kemanusiaan.
C.
Hukum Jenewa
Obyek hukum Jenewa adalah menyelamatkan korban dari keadaan
sengketa bersenjata yaitu para angkatan bersenjata yang tidak terlibat
tindakan pertempuran (out of action), baik yang terluka, sakit, korban
karam, atau para tawanan perang, maupun penduduk sipil yang pada umumnya orang
yang tidak lagi ambil bagian dalam permusuhan.
Empat konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 merupakan himpunan dari peraturan-peraturan perlindungan ini.
Konvensi ini diterima secara massal oleh 188 negara. Konvensi-konvensi ini
telah diperkuat dan dilengkapi dengan penerimaan dua protokol
tambahan 10 Juni 1977 (protokol I berkaitan
dengan sengketa bersenjata internasional dan protokol II
berkaitan dengan Sengketa Bersenjata non internasional), yang telah
diratifikasi pada tanggal 31 Maret 1997 masing-masing oleh 147 dan 139 negara.
D.
Hubungan Hukum Humaniter dengan Hak Asasi Manusia
Sangat penting untuk memahami pengertian istilah “hak bangsa-bangsa,
hak asasi manusia dan hukum humaniter”. Hal ini penting untuk mengetahui kapan
sesungguhnya konsep-konsep tersebut termasuk ke dalam suatu sistem hukum. Ini
menjadikannya penting untuk menegaskan hakikat hukum humaniter dan hakikat
hukum hak asasi manusia dan mengingat persamaan dan perbedaan diantara dua
cabang hukum internasional publik ini. Juga sangatlah penting bagi mereka yang
bertanggungjawab menyebarkan penerangan mengenai hukum humaniter internasional
dan atau hukum hak asasi manusia untuk mampu memberikan penjelasan sesungguhnya
mengenai subyek tersebut. Ini adalah kepentingan terbesar orang yang dilindungi
oleh kedua hukum, tetapi juga membantu para pejabat Negara yang
bertanggungjawab atas perlindungan tersebut.
Pada mulanya,
tidak pernah ada perhatian mengenai hubungan hukum hak asasi manusia dan hukum
humaniter.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Pernyataan Universal
Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) 1948 tidak
menyinggung tentang penghormatan hak asasi manusia pada waktu sengketa
bersenjata. Sebaliknya, dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949 tidak menyinggung
masalah hak asasi manusia, tetapi tidak berarti bahwa konvensi-konvensi Jenewa
dan hak asasi manusia tidak memiliki kaitan sama sekali. Antara keduanya
terdapat hubungan keterkaitan, walaupun tidak secara langsung. Di satu sisi ada
kecenderungan untuk memandang ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1949 tidak
hanya mengatur mengenai kewajiban bagi negara-negara peserta, tetapi juga
mengatur tentang hak orang perorangan sebagai pihak yang dilindungi. Keempat
Konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa penolakan hak-hak yang diberikan oleh
konvensi-konvensi ini tidak dapat dibenarkan. Apalagi dengan adanya Pasal 3
tentang ketentuan yang bersamaan pada Keempat Konvensi Jenewa 1949 yang
mewajibkan setiap negara peserta untuk menghormati peraturan-peraturan dasar
kemanusiaan pada sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. Dengan
demikian, maka Pasal 3 ini mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga
negaranya, yang berarti mencakup bidang tradisional dari hak asasi manusia.
Sedangkan di sisi lain, dalam konvensi-konvensi tentang hak asasi
manusia terdapat pula berbagai ketentuan yang penerapannya justru pada situasi
perang. Konvensi Eropa tahun 1950, misalnya dalam Pasal 15, menentukan bahwa
bila terjadi perang atau bahaya umum lainnya yang mengancam stabilitas
nasional, hak-hak yang dijamin dalam konvensi ini tidak boleh dilanggar.
Meskipun dalam keadaan demikian, paling tidak ada 7 (tujuh) hak yang harus
tetap dihormati, karena merupakan intisari dari Konvensi ini, yaitu hak atas
kehidupan, kebebasan, integritas fisik, status sebagai subyek hukum,
kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi dan hak atas keamanan. Ketentuan ini
terdapat juga dalam Pasal 4 Kovenan PBB mengenai hak-hak sipil dan politik dan
Pasal 27 Konvensi HAM Amerika.
Selain itu, terdapat pula hak-hak yang tak boleh dikurangi (non
derogable rights), baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa
bersenjata. Hak-hak yang tak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup,
prinsip (perlakuan) non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture),
larangan berlaku surutnya hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam konvensi
sipil dan politik, hak untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan
melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan (slavery),
perhambaan (servitude), larangan penyimpangan berkaitan dengan dengan
penawanan, pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat,
keyakinan dan agama, larangan penjatuhan hukum tanpa putusan yang dimumkan
lebih dahulu oleh pengadilan yang lazim, larangan menjatuhkan hukuman mati dan
melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1)
huruf (d) yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa.
Dalam hukum humaniter internasional, pengaturan mengenai hak-hak
yang tak dapat dikurangi ini antara lain tercantum dalam ketentuan Pasal 3
tentang ketentuan yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa 1949. Pasal ini
penting karena membebankan kewajiban kepada “pihak peserta agung” untuk tetap
menjamin perlindungan kepada orang perorangan dengan mengesampingkan status “belligerent”
menurut hukum atau sifat dari sengketa bersenjata yang terjadi itu. Kesadaran
akan adanya hubungan hak asasi manusia dan hukum humaniter baru terjadi pada
akhir tahun 1960-an. Kesadaran ini makin meningkat dengan terjadinya berbagai
sengketa bersenjata, seperti dalam perang kemerdekaan di Afrika dan di berbagai
belahan dunia lainnya yang menimbulkan masalah, baik dari segi hukum humaniter
maupun dari segi hak asasi manusia. Konferensi internasional mengenai hak asasi
manusia yang diselenggarakan oleh PBB di Teheran pada tahun 1968 secara resmi
menjalin hubungan antara Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Humaniter
Internasional (HHI).
Dalam Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM
pada waktu pertikaian bersenjata”, meminta agar konvensi-konvensi tentang
pertikaian bersenjata diterapkan secara lebih sempurna dan supaya disepakati
perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini mendorong PBB untuk menangani
pula Hukum Humaniter Internasional. Ada 3 (tiga) aliran berkaitan dengan
hubungan hokum humaniter internasional :
1.
Aliran Integrationis
Aliran integrationis berpendapat bahwa sistem hukum yang
satu berasal dari hukum yang lain. Dalam hal ini, maka ada 2 (dua) kemungkinan.
Pertama, hak asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional,
dalam arti bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia. Pendapat
ini antara lain dianut oleh Robertson, yang menyatakan bahwa hak asasi
manusia merupakan hak dasar bagi setiap orang, setiap waktu dan berlaku di
segala tempat. Jadi hak asasi manusia merupakan genus dan hukum humaniter merupakan
species-nya, karena hanya berlaku untuk golongan tertentu dan dalam keadaan tertentu
pula. Kedua, Hukum Humaniter Internasional merupakan dasar dari Hak
Asasi Manusia, dalam arti bahwa hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum
humaniter. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa hukum humaniter lahir
lebih dahulu dari pada hak-hak asasi manusia. Jadi secara kronologis, hak asasi
manusia dikembangkan setelah hukum humaniter internasional.
2.
Aliran Separatis
Melihat Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional sebagai
sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan, karena keduanya berbeda.
Menurut separatis Perbedaan kedua
sistem tersebut terletak pada:
a.
Objeknya
Hukum Humaniter Internasional mengatur sengketa bersenjata antara
negara dengan kesatuan (entity) lainnya; sebaliknya hak asasi manusia
mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya di dalam negara
tersebut.
b.
Sifatnya
Hukum Humaniter Internasional bersifat mandatory a political serta
peremptory.
c.
Saat berlakunya
Hukum Humaniter Internasional berlaku pada saat perang atau masa sengketa
bersenjata, sedangkan hak asasi manusia berlaku pada saat damai. Salah seorang
dari penganut teori ini adalah Mushkat,
yang menyatakan bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa hukum humaniter itu
berhubungan dengan akibat dari sengketa bersenjata antar negara, sedangkan hak
asasi manusia berkaitan dengan pertentangan antara pemerintah dengan individu
di dalam negara yang bersangkutan. Hukum humaniter mulai berlaku pada saat hak
asasi manusia sudah tidak berlaku lagi; hukum humaniter
melindungi mereka yang tidak mampu terus berperang atau mereka yang sama sekali
tidak turut bertempur, yaitu penduduk sipil. Hak asasi
manusia tidak ada dalam sengketa bersenjata karena fungsinya diambil oleh hukum
humaniter, tetapi terbatas pada golongan tertentu saja.
3.
Aliran Komplementaris
Aliran Komplementaris melihat Hukum Hak Asasi Manusia dan
Hukum Humaniter Internasional melalui proses yang bertahap, berkembang sejajar
dan saling melengkapi. Salah seorang dari penganut teori ini adalah Cologeropoulus,
dimana Ia menentang pendapat aliran separatis yang dianggapnya menentang kenyataan
bahwa kedua sistem hukum tersebut
memiliki tujuan yang sama, yakni perlindungan pribadi orang. Hak asasi manusia
melindungi pribadi orang pada masa damai, sedangkan hukum humaniter
memberikan perlindungan pada masa perang atau sengketa bersenjata. Aliran ini
mengakui adanya perbedaan seperti yang dikemukakan oleh aliran separatis, dan
menambahkan beberapa perbedaan lain, yaitu :
a.
Dalam pelaksanaan dan penegakan
Hukum humaniter menggantungkan diri pada atau menerapkan sistem Negara
pelindung (protecting power). Sebaliknya hukum hak asasi manusia sudah
mempunyai aparat dan mekanisme yang tetap, tetapi ini hanya berlaku di
negara-negara Eropa saja, yaitu diatur dalam Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa.
b.
Dalam hal sifat pencegahan
Hukum humaniter internasional dalam hal kaitannya dengan pencegahan
menggunakan pendekatan preventif dan korektif, sedangkan hukum hak asasi manusia
secara fundamental menggunakan pendekatan korektif, yang diharapkan akan
mempunyai efek preventif. Walaupun hukum humaniter internasional dan hukum hak
asasi manusia keduanya didasarkan atas perlindungan orang, terdapat perbedan
khas dalam lingkup, tujuan dan penerapan diantara keduanya. Hukum humaniter
internasional berlaku dalam kasus-kasus sengketa bersenjata, baik internasional
maupun non internasional atau perang saudara (civil war). Di satu pihak,
hukum humaniter internasional terdiri atas standar-standar perlindungan bagi
para korban sengketa, disebut hukum Jenewa, dan
di lain pihak peraturan-peraturan yang berkaitan dengan alat dan cara berperang
dan tindakan permusuhan, juga dikenal sebagai hukum Den Haag.
Dewasa ini, dua perangkat perturan itu telah digabung dan muncul
dalam Protokol- protokol tambahan pada
Konvensi Jenewa yang diterima tahun 1977. Hukum hak asasi manusia, sebaliknya bertujuan
untuk memberikan jaminan bahwa hak-hak dan kebebasan sipil, politik, ekonomi dan budaya dan setiap orang perorangan dihormati pada
segala waktu, untuk menjamin bahwa dia dapat berkembang sepenuhnya dalam masyarakatnya
dan melindunginya jika perlu terhadap penyalahgunaan dari para penguasa yang
bertanggungjwab. Hak-hak ini tergantung pada hukum nasional dan sifatnya yang
sangat fundamental dijumpai dalam konstitusi negara-negara. Namun hukum hak
asasi manusia juga berkaitan dengan perlindungan internasional hak asasi
manusia, yakni aturan-aturan yang disetujui untuk dipatuhi oleh negara-negara dalam
kaitannya dengan hak dan kebebasan orang perorangan dan bangsa. Hukum humaniter
internasional secara khusus dapat dianggap dimaksudkan untuk menjamin dan
memelihara hak-hak dasar (untuk hidup, keamanan, kesehatan, dsb) dari korban
dan non-kombatan dalam peristiwa sengketa bersenjata. Ada hukum darurat
yang diperintahkan karena keadaan-keadaan khusus, sedangkan hak asasi manusia,
yang berjalan dengan sangat baik di masa damai, terutama berkaitan dengan
perkembangan yang harmonis dari setiap orang.
Dengan demikian, walaupun hukum humaniter
berlaku pada waktu sengketa bersenjata dan hak asasi manusia berlaku pada waktu
damai. Namun inti dari hak-hak asasi atau “hard core rights” tetap berlaku
sekalipun pada waktu sengketa bersenjata. Keduanya saling melengkapi. Selain
itu, ada keterpaduan dan keserasian kaidah-kaidah yang berasal dari instrument-instrumen
hak asasi manusia dengan kaidah-kaidah yang berasal dari instrument-instrumen hukum
humaniter internasional. Keduanya tidak hanya mengatur hubungan diantara negara
dengan negara dengan menetapkan hak-hak dan kewajiban mereka secara timbal
balik.
Selain hal tersebut, terdapat pula persamaan antara Hukum Hak Asasi
Manusia dan Hukum Humaniter Internasional. Persamaan tersebut antara lain :
1)
Sebagaimana ketentuan-ketentuan dalam instrumen-instrumen hak asasi
manusia, Konvensi Jenewa 1949 dan protokol-protokolnya yang memberikan kewajiban
kepada negara peserta dan menjamin hak-hak individual dari orang-orang yang
dilindungi.
2)
Hukum humaniter internasional menentukan kelompok-kelompok orang yang
dilindungi, seperti orang-orang yang cedera dan tawanan perang, sedangkan hak
asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa memberikan status khusus. Akan
tetapi dalam perkembangan terakhir, hukum humaniter
internasional mengikuti pendekatan yang sama dengan sistem
hak asasi manusia, dengan memperluas perlindungan hukum humaniter internasional
bagi semua orang sipil.
3)
Di satu sisi landasan
pengaturan hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang berkaitan dengan
manusia, yaitu : kehidupan, kebebasan, keamanan, status sebagai subyek hukum,
dsb.
Atas dasar tersebut dibuatlah peraturan-peraturan untuk menjamin perkembangan
manusia dalam segala segi. Di sisi lain hukum humaniter internasional (HHI)
dimaksudkan untuk membatasi kekerasan dan dengan tujuan ini, hukum humaniter internasional
(HHI) memuat peraturan-peraturan yang menjamin hak-hak manusia yang sama,
karena hak-hak tersebut merupakan hak-hak minimal.
Intisari dari hak-hak asasi manusia (hard core rights) atau
dapat juga disebut sebagai hak-hak yang paling dasar, menjamin perlindungan
minimal yang mutlak dihormati terhadap siapapun, baik di masa damai maupun di
waktu perang. Hak-hak ini merupakan bagian dari kedua system hukum tersebut. Oleh
karena itu, maka kedua bidang ini merupakan instrumen-instrumen hokum yang
memberikan perlindungan hukum kepada
orang perorangan. Instrumen-instrumen hukum yang memberikan perlindungan hukum
kepada orang perorangan ini dapat digolongkan ke dalam empat kelompok :
1)
Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang perorangan sebagai anggota
masyarakat. Perlindungan ini meliputi segenap segi perilaku perorangan dan
sosialnya. Perlindungan
ini bersifat umum. Kategori ini justru mencakup hukum hak
asasi manusia internasional.
2)
Instrumen yang bertujuan melindungi orang perorangan berkaitan
dengan keadaannya di dalam masyarakat, seperti hukum internasional tentang perlindungan
terhadap kaum wanita dan hukum internasional berkaitan dengan perlindungan
terhadap anak.
3)
Instrumen hukum yang bertutujuan melindungi orang perorangan dalam kaitannya
dengan fungsinya di dalam masyarakat, seperti hukum internasional
tentang buruh.
4)
Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang perorangan dalam keadaan
darurat, apabila terjadi situasi yang luar biasa dan yang mengakibatkan ancaman
adanya pelanggaran hak asasi atas haknya yang biasanya dijamin oleh hukum yang
berlaku, seperti hukum internasional
tentang pengungsi dan hukum humaniter internasional yang melindungi para korban
akibat sengketa bersenjata.
BAB III
KESIMPULAN
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, Hukum Humaniter
Internasional adalah seperangkat aturan yang karena alasan kemanusiaan dibuat
untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi
mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi
cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah
lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws
of armed conflict). Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum
internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar
negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang
disepakati antara negara-negara yang sering disebut traktat atau konvensi dan
secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan
demikian, maka hukum humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam perjanjian internasional, tetapi juga meliputi
kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui.