Entri yang Diunggulkan

RELASI NEGARA DAN HUKUM ISLAM

Prawacana; Setelah membaca tulisan ini diharapkan mahasiswa dapat:       Mengetahui dan memahami pemikirankenegaraan Perspektif I...

Kamis, 17 November 2016

Teori Hukum (Islam) Progressif.

Dampak dari perkembangan masyarakat yang demikian cepat, problem-problem sosial baru yang lahir disebabkan oleh revolusi industri, perkembangan teknologi dan  modernisasi tidak dapat dihindarkan, hal ini memunculkan tuntutan baru bagi   suatu tatananmasyarakat  modern yang demikian dinamis. Di samping faktor-faktor tersebut di atas, negara juga semakin banyak mencampuri urusan-urusan warga negaranya, hal yang semula tidak menjadi perhatiannya[1].
Perkembangan yang demikian itu membawa serta peranan dan pengaturan melalui hukum dan melontarkan suatu bahan baru untuk digarap oleh teoretisi hukum. Dalam keadaan tersebut akan tampak bahwa cara-cara analisis yang dilakukan melalaui legal positivism (Hukum positif)  dirasakan kekurangannya. Serangkaian aktivitas yang dilakukan  masyarakat  harus ditangani melalaui teori-teori hukum baru yang ditengarai dapat  memberikan solusinya. Dengan lahirnya teori hukum (baru) tersebut diharapkan sgala problem sosial yang muncul ke permukaan dapat terjawab  serta melahirkan keadilan sebagaimana yang diharapkan.  
Hukum tidak sebatas berfungsi meneguhkan pola-pola yang sudah ada, tetapi juga melakukan perubahan ke arah kebutuhan masa depan. Pendekatan-pendekatan para ahli hukum terhadap bidangnya pada abad kesembilanbelas dan diteruskan masuk pada abad keduapuluh semakin banyak memperhatikan kaitan antara hukum dan masyarakat. Hal tersebut didorong pula dengan munculnya suatu cabang ilmu baru, yaitu sosiologi[2].
Pada abad kesembilanbelas terjadi suatu perubahan secara revolusioner yang membawa pengaruh terhadap berbagai bidang, salah satu pengaruhnya adalah di bidang hukum. Pengaruh tersebut terutama mengenai cara pandang hukum yang semula bersifat abstrak dan formal legalistis menuju pada suatu cara pandang yang bersifat yuridis sosiologis atau yuridis empirik. Madzhab sejarah yang dipelopori von Savigny, telah mulai menarik perhatian banyak orang dari suatu analisis hukum yang bersifat abstrak dan ideologic kepada suatu analisis hukum yang difokuskan pada lingkungan sosial yang membentuknya. Pokok pemikiran Savigny adalah hukum merupakan perwujudan dan kesadaran masyarakat (Volksgeist), juga ia berpendapat bahwa semua hukum berasal dan adat istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dan pembentuk undang-undang[3]. Madzab sejarah itu kemudian membuka jalan bagi timbulnya aliran-aliran sociological jurisprudence, yang kemudian juga membawa pengaruh besar terhadap ilmu-ilmu sosial lain, dan proses kelahiran sosiologi, suatu hal yang patut dicatat bahwa aspek penentangan terhadap cara pandang hukum yang legalistis formal juga dapat ditemukan pada pendapat Eugen Ehrlich, salah seorang tokoh aliran sociological jurisprudence, yang mengatakan bahwa ... at the present as well as at any other time, the centre of gravity of legal development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judical decision, but in society it self.[4]
Hukum itu bukanlah suatu hal yang statis, hukum dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perkembangan. Hal ini merupakan suatu konsekuensi logis dikarenakan pertumbuhan dan perkembangan hukum itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hukum yang ada sekarang ini tidak muncul secara tiba-tiba begitu saja, melainkan merupakan hasil dari suatu perkembangan tersendiri. Apabila dikatakan hukum mempunyai perkembangan tersendiri, maka yang dimaksudkan adalah bahwa terdapat hubungan yang erat dan timbal balik antara hukum dengan masyarakat. Hal tersebut memang seharusnya terjadi demikian karena bagaimana pun juga keberadaan hukum terutama ada di masyarakat.
Krabbe, seorang pemikir hukum Belanda memberikan tempat utama kepada perasaan hukum (rechtsgefuhl), perasaan hukum anggota masyarakat. Eugen Ehrlich (1862-1922), ahli hukum dari Austria, merupakan seorang penulis yang bukunya pertama-tama menyandang judul sosiologi hukum mengutarakan sebagai berikut[5]
            Bahwa hukum positif baru akan efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat.
Sering dikatakan bahwa suatu buku harus ditulis dengan suatu cara yang memungkinkan isinya untuk diringkas dalam suatu kalimat. Apabila buku ini harus diuji dengan persyaratan tersebut, kalimat itu bisa berbunyi sebagai berikut: Pada waktu sekarang, seperti juga pada waktu yang lain, pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak pada ilmu hukum, juga perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, juga tidak pada keputusan hakim, tetapi di dalam masyarakat sendiri.
Persoalan-persoalan tentang hukum, pada saat ini tidak lagi merupakan persoalan tentang legalitas formal, tentang penafsiran serta penerapan pasal-pasal peraturan perundang-undangan secara semestinya, melainkan bergerak ke arah penggunaan hukum sebagai sarana untuk turut membentuk tata kehidupan yang baru atau sesuai dengan kondisi saat itu. Hanya persoalannya, orang/ masyarakat masih terbentuk cara berpikir yang legal-positifistik. Bahkan pendidikan tinggi hukum pun memberi andil besar terhadap cara berpikir demikian melalui proses pengajarannya[6].
Sehubungan dengan hal di atas, pada kenyataannya dapat dilihat bahwa terutama pada saat ini terdapat perkembangan adanya suatu perbedaan pandangan tentang hukum, sistem hukum, dan pembinaan atau pendidikan hukum sebagai suatu alas untuk mencapai tujuan-tujuan sosial yang bervariasi[7]. Hukum dan masyarakat memiliki keterkaitan yang erat, hal ini bukan saja dikarenakan hukum merupakan suatu produk sosial melainkan juga hukum memiliki tujuan untuk menciptakan masyarakat serta pembangunan yang adil bagi masyarakat yang bersangkutan. Suatu hal yang pada umumnya sering tenjadi dalam suatu masa transisi atau penubahan, hal yang biasa terjadi adalah terjadinya kepincangan-kepincangan antara tuntutan keadaan dan pelayanan atau penanganan yang dapat diberikan hukum. Studi hukum di Indonesia, sebagian besar masih berkisar pada pengkajian terhadap hukum sebagai suatu sistem yang dipahamkan secara logik dan konsisten. Dengan perkataan lain, pengajaran hukum lebih difokuskan pada aspek preskriptifnya, yaitu dengan memberikan pengetahuan tentang apa hukumnya bagi suatu kejadian tertentu serta bagaimana mengoperasikan peraturan-peraturan hukum tersebut. Hal tersebut memang dapat dibenarkan karena tujuan dan pengajaran ilmu hukum adalah mendidik atau memberikan pengetahuan tentang hukum itu sendiri, sehingga seorang sarjana hukum dapat memecahkan berbagai masalah-masalah hukum yang dihadapinya.
Namun di sisi lain, kecuali tampak aspek normatifnya, hukum juga memiliki sisi yang lain, yaitu dalam realitanya. Yang dimaksud dengan hukum dalam realitanya adalah bukan kenyataan dalam bentuk pasal-pasal di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, melainkan sebagaimana hukum itu dijalankan sehari-hari. Bila demikian, seseorang perlu mencoba untuk mengamati dan mempelajari hukum dalam realitanya. Dengan demikian orang tersebut harus keluar dan batas peraturan hukum dan mengamati praktik-hukum atau hukum sebagaimana dijalankan oleh orang-orang dalam masyarakat[8]. Pada kenyataannya, tuntutan keadaan sebagaimana dikemukakan di atas menghendaki agar hukum tersebut dipahamkan sebagai saluran-saluran untuk merumuskan kebijakan policy[9], dalam bidang-bidang ekonomi, sosial, politik dan sebagainya[10]. Oleh karena itu studi hukum sekarang seolah-olah ditarik dari tempatnya yang sedikit banyak terisolasi ke tengah-tengah persoalan yang hidup dalam masyarakat. Ilmu hukum yang hanya dilakukan secara normatif, pada tingkat tertentu, saat ini sudah tidak memadai lagi. ilmu hukum harus memperdalam dan memperluas cakrawalanya dalam menganalisis suatu masalah. Kini hukum tidak sebatas rule and logic, melainkan social structure, behaviour[11].
Pandangan aliran-aliran hukum yang tergolong menentang cara pandang hukum secara formal-legalistic cenderung mendorong para ahli hukum untuk mendekatkan diri pada kenyataan-kenyataan sosial. Di samping itu, ilmu hukum juga didorong untuk lebih memperhatikan keterkaitan antara hukum dengan kenyataan-kenyataan sosial. Maksudnya adalah bahwa desakan untuk menentukan secara sistematis tentang bagaimana hubungan antara sistem hukum dengan kenyataan sosial semakin terasa manakala kenyataannya menunjukkan betapa hukum tersebut semakin memegang peranan sebagai kerangka kehidupan sosial masyarakat modern[12].
Secara illustrative perspektif sosiolgical jurisprudency dapat dilihat dalam sebagai berikut[13]:

Atas dasar bagan tersebut di atas, dapat diungkapkan bahwa pada masyarakat segmental/primitif, peraturan-peraturan hukumnya mengandung sanksi represif, sedangkan pada masyarakat yang terdapat pembagian kerja, hukumnya lebih mengandung sanksi restitutif.
A. A. G. Peters dan Kusrini Siswosoebroto, mengemukakan bahwa hukum dengan sanksi represif, memperoleh pernyataan hukumnya yang utama dalam kejahatan dan hukuman. Pelanggaran peraturan-peraturan sosial berarti kejahatan, dan ini menimbulkan hukuman. Fungsi hukuman ialah memberikan pernyataan simbolis kepada perasaan kegusaran moral yang disebabkan oleh kejahatan[14].
Hubungan hukum dan solidaritas organis lebih kompleks lagi. Lembaga hukum yang mengatakan dengan jelas moralitas sosial yang mencirikan solidariti organis ialah kontrak dengan sanksi-sanksi restitutif sebagai sarana untuk melaksanakannya[15].
Alant Hunt, mengemukakan bahwa hukum restitutif berkenaan dengan penyelesaian hubungan-hubungan sosial yang muncul dari perbedaan-perbedaan dalam hubungan-hubungan kerja sosial, dan hukum restitutif hanya terdiri dari” The return  of thing as they were, dalam membentuk kembali hubungan yang sukar ke arah yang normal[16]. Penegakan hukum Pemerintahan daerah yang hanya mengandalkan teori hukum legisme-positivisme tampaknya tidak akan mampu mengapresiasi perkembangan zaman dan tradisi baru cara berhukumnya masyarakat modern-kontemporer. Model berhukum perspekif legisme-positisme hanya menghadirkan konstruksi pemekiran yang ekslusif. Karenannya menurut  Suteki bahwa untuk menghadirkan gambar hukum yang utuh  di tengah masyaraakat mau tidak mau  kita dengan berani harus mempelajari hukum dan cara berhukum kita dengan berani keluar dari aturan tradisi penegakan hukum yang hanya bersandarkan kepada peraturan perundang-undangan[17]. Lebih lanjut Suteki mengatakan Hukum bukan semata-mata perundang-undangan yang berada dalam ruang  hampa yang steriil dari aspek-aspek non hukum. Hukum harus dilihat dari perspektif sosial, karena hukum bukan hanya rule, melainkan juga behavior, hukum mesti progresif menyongsong perubahan sosial dengan tetap berupaya mengahdirkan keadilan[18]. Berkaitan dengan deskripsi tersebut penulis memandang perlu untuk mengemukakan tentang hakikat hukum progressif.
Hukum progressif bertitik tolak dari dua asumsi, yakni Pertama, Hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya[19]. Pemikiran Rahardjo tersebut didasarkan atas elaborasinya terhadap pemikiran hukum yang telah bergeser jauh dari subsansi ke adilan kea rah hukum yang bersifat teknologis[20]. Dalam konteks hukum modern tersebut eksistensi hukum alih-alih menciptakan keadilan substansi yang ada adalah kontradiktif antara satu dengan lainnya.
Asumsi Kedua, Hukum bukan merupakan  institusi yang mutlak dan final karena hukum  selalu berada dalam  proses untuk terus menjadi (law as process, law in the making)[21]. Secara detail Suteki menjelaskan bahwa dalam prespektif hukum progresif manusia berada di atas hukum, hukum hanya berfungsi sebagai sarana untuk menjamin dan menjaga berbagai kebutuhan manusia, hukum tidak lagi dipandang sebagai suatu dokumen yang absolute dan ada secara otonom. Hukum progresif yang berorientasi pada manusia  membawa konsekwensi pada adana kreativitas. Menurut Suteki, kreativitas tersebut diarahkan pada dua poin penting, yakni, pertama; untuk mengatasi ketertinggalan hukum dan mengatasi ketimpangan hukum, Kedua, Untuk  membuat terobosan-terobosan hukum kalau perlu melakukan rule breaking[22].
 Berkaitan dengan model penegakan hukum perspektif hukum progresif dalam konteks Negara hukum Indonesia hendaknya kembali kepada paradigm nilai-nilai filosofis yang terdapat dalam Pancasila. Mahfud MD mengatakan, bahwa dalam pembangunan dan penegakan hukum seyogyanya memperhatikan empat kaidah penuntun yakni:
1.Hukum harus melindungi segenap bangsa dan menjamin keuthan bangsa dan karenanya tidak boleh ada hukum yang menanamkan benih disintegrasi.
2. Hukum harus menjamin keadilan sosial dengan memberikan proteksi khusus bagi golongan lemah agar tidak tereksplitasi dalam persaingan bebas melawan golongan yang kuat.
3. Hukum harus dibangun secara demokratis sekaligus membangun demokrasi sejalan dengan nomokrasi(Negara hukum).
4. Hukum tidak boleh diskriminatif  berdasarkan ikatan primordial apapun dan harus mendorong terciptanya toleransi  beragama berdasarkan kemanusiaan yang beradab[23].
Berdasarkan pemikiran”Politik Hukum “ yang dikonstruksi oleh Mahfud MD tersebut Suteki  berpendapat bahwa  dalam penegakan hukum dapat melakukan non enforcement of law baik dengan cara sporadic enfocement ataupun dengan cara  partial enforcement apabila dalam implementasinya peraturan hukum dan penerapannya bertentangan dengan keempat kaidah penuntun tersebu. Artinya apabla pnerapan hukum  tidak menunjukan  rasa keadilan  dan hati nurani , maka secara prinsip penegak hukum dapat  melakukan non enforcement of law dengan kata lain peraturan tersebut ditingalkan.
Untuk mengetahui lebih jauh karakteristik hukum progressif di bawah ini penulis beberapa poin penting arah pemikiran hukum progresif yang telah dielaborasi oleh Suteki sebagai berikut:
1. Hukum progresif itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. pada hakikatnya setiap manusia itu baik, sehingga sifat ini layak menjadi modal dalam membangun kehidupan berhukumnya.  Hukum bukan raja (segalanya), tetapi sekadar alat bagi manusia untuk memberi rahmat kepada dunia dan kemanusiaan[24]. Hukum tidak ada untuk dirinya sendiri  melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka, setiap ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditunjau serta diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukan kedalam skema hukum[25]. Oleh karena Pak Tjip juga menulis tentang perlunya menempatkan system hukum dalam alur besar deep-ecology[26], maka kata-kata kunci diatas seyogyanya juga boleh dieja sebagai hukum untuk konteks kehidupan sejagat, dimana manusia bukan laig titik sentral satu-satunya.
2. Hukum progresif itu harus pro rakyat dan pro keadilan. Hukum itu harus berpihak kepada rakyat  keadilan harus didudukan diatas peraturan. Para penegak hukum  harus berani menerobos kekakuan teks peraturan diistilahkan sebagai ‘mobilisasi hukum[27].juga memang teks mencederai rasa keadilan rakyat. Prinsip pro-rakyat  dan pro-keadilan  ini merupakan ukuran-ukuran untuk menghindari agar progresivisme ini tidak mengalami kemerossotan, penyelewengan penyalahgunaan, dan hal negative lainya.
3. Hukum progresif bertujuan mengantarkan manusia kepada kesejahteraan dan kebahagiaan. Hukum harus memiliki tujuan lebih jauh daripada yang diajukan oleh falsafah liberal. Pada falsafah pascaliberal, hukum harus mensejahterakan dan membahagiakan. Hal ini juga sejalan dengan cara pandang orang Timur yang memberikan pengutamaan pada kebahagiaan[28]
4. Hukum progresif selalu dalam proses menjadi (law as a process law in the makin). Hukum bukan institusi yang final, melainkan ditentukan oleh kemampuanya mengabdi kepada manusia. Ia terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju  kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Setiap tahap dalam perjalanan hukum adalah putusan-putusan  yang dibuat guna mencapai ideal hukum, baik yang dilakukan legislative, yudikatif, maupun eksekutif. Setiap keputusan bersifat terminal menuju pada putusan berikutnya yang lebih baik. Hukum tidak pernah bias meminggirkan sama sekali kekuatan-kekuatan otonom masyarakat untuk mengatur ketertibanya sendiri kekuatan-keuatan tersebut akan selalu ada dalam bentuk laten. Pada saat tertentu ia akan muncul dan akan mengmbil alih pekerjaan yang tidak diselesaikan dengan baik oleh hukm Negara. Maka, sebaiknya hukum itu dibiarkan mengalir saja[29].
5. Hukum progresif menekankan hidup baik sebagai dasar hukum yang baik. Dasar hukum terdapat pada perilaku bangsanya sendiri karena perilaku bangsa itulah yang menentukan kualitas berhukum bangsa tersebut.  Fundamen hukum tidak terletak pada bahan hukum (legal stuff) system hukum, berpikir hukum, dan sebagainya, melainkan lebih kepada manusia atau perilaku manusia. Ditangan perilaku buruk system hukum akan rusak tetapi tidak ditangan orang-orang berperilaku baik[30].
6. Hukum progresif memiliki tipe responsive. Dalam tipe responsive hukum akan selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan diluar narasi tekstual hukum itu sendiri yang disebut oleh nonet dan Selznick[31] sebagai the sovereigninty of purpose. Pendapat ini sekaligus mengkiritik doktrin due process of law. Tipe responsive menolak otonomi hukum  yang bersifat final  dan tidak dapat digugat[32].
7. Hukum progresif mendorong peran public . mengingat hukum memiliki kemampuan yang terbatas, maka mempercayakan segala sesuatu kepada kekuatan hukum adalah sikap yang tidak realistis dan keliru. Di sisi lain, masyarakat ternyata memiliki keuatan otonom untuk melindungi dan menata dirinya sendiri. Kekuatan ini untuk sementara tenggelam di bawah dominasi hukum modern yang notabene adalah hukum Negara. Untuk itu, hkum progresif sepakat memoblisasi kekuatan otonom masyarakat (Mendorong peran public)[33].
8. Hukum progresif membangun Negara hukum yang berhati nurani. Dalam bernegara hukum, yang utama adalah kultur, dekultural Primacy. Kultur yang dimaksud adaalah kultur pembahagiaan rakyat keadaan tersebut dapat dicapai apabilai kita tidak berkuta pada the legal structur of states melainkan  harus mengutamakan  a states with conscinenese. Dalam bentuk pertanyaan, hal tersebut akan berbnyi:” Bernegara hkum untuk apa?” dan dijawab dengan;” bernegara untuk membahagiakan rakyat”[34]
9. Hukum progresif dijalankan dengan kecerdasan spiritual, kecerdasan spiritual tidak ingin dibatasi patokan (Rule Bound), juga tidak hanya besifat kontekstual, tetapi inging keluar dari situasi yang ada dalam usaha mencari kebenaran makana atau nilai yang lebih dalam (sic penulis-The Deep Values)[35].
10. Hukum progresif merobohkan, mengganti, dan membebaskan. Hukum progresif menolak Status Quo dan Submissive. Sikap Status qou menyebabkan kita tidak berani melakukan perubahan dan menganggap doktrin sebagai suatu yang mutlak untuk dilaksanakan. Sikap demikian hanya merujuk pada maxim’ rakyat untuk hukum [36].






[1] Pergeseran paradigm tersebut hemat penulis dikarenakan adanya pergeseran paradigm plitik yang semula berorientasi pada Negara hkum an-sich, pada saat ini bergeser pada Negara kesejahtraan “Welfare State.
[2] R. Otje Salman:. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Bdg. Alumni.1989;2
[3] Filsafat Hukum Madzhab Sejarah di Inonesia di adopsi oleh Soepomo. Ter Haar. Lihat . Lili Rasyidi dan Thania Rasyidi;Dasar-dasar Filafat dan Teori Hukum. Bdg. Citra Aditia, 2004;64-65.
[4] R. Otje Op Cit hal 1
[5] Satjipto Rahardjo, dalam Otje Salman hal 3.
[6] Satjipto Rahardjo: Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia. Yogyakarta. Genta Publishng,2009;39-56.
[7] Perbedaan Paradigma Pendidikan Hukum antara Recht-Dogmatic dengan Sosiological Jurisprudence tampak dari karya Buku Satjipto dan Peter Marzuki Mahmud.Lihat: Titon Slamet Kurnia: Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum dan Penelitian Hkum di Indonesia.Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2013;16-22. Lihat Juga. Peter Marzuki dalam Pengantar Ilmu Hukum.Jkt. Prenada.2013;9.
[8] Sidarta dan Bernard L Tanya: Hukum Dalam Ranah Masyarakat. Yogyakarta, Genta Publishing,2009;58.
[9] Pendapat yan sama dikemkakan leh Soetandiyo Soedibyo; Hukum Dalam Masyarakat, Malang. Bayu Media, 2009;17.
[10] Tentang Hukum Perspektif Ekonom dapat dilihat dalam karya Jhoni Ibrahim:Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum.Surabaya. Putra Media Nusantara,2009;25.
[11] Penegakan hukum Perspektif teori Behaviorilm dapat dilihat dalam bku karya Anonius Sudiman: Hat Nurani Hakim dan Putusannya. Bdg. Citra Aditya,2007.27-43. Dalam buku tersebut Antonius mengkaji prilaku hakim, terutama Hakim Bismar Siregar yang berbeda dengan tradisi pemikiran hakim lainnya dalam memutus perkara. Esensi dari studi tersebut mengatakan bahwa hakim secara empiris tergantung dai berbagai latar belakang pendidikan, sosial dan setting politiknya. Pada sisi lain Antonius juga mengatakan bahwa  hakim dalam memutus perkara perlu mengadakan penafsiran secara ekstensif..
[12]  Satipto dalam Otje Op Cit hal 4. Lihat pula Sabian Ustman: Living Law”  Yogyakarta,2008;53
[13] Taufik Abdullah, dalam  Muslan Abd Rahman: Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum.Malang. UMM Pers.2009;17.
[14] A.A.G Peters dan Kursini Siswosoebroto:Hukum dan Perkembangan Sosial.Jkt. Pustaka Sinar Harapan.1988;34..
[15] Ibid.
[16] Alan Hunt: Sociological Movement of law. Philadelpia.Temple University Pers.1978;68. 
[17] Suteki.Rekam Jejak Pemikiran Hukum Progressis Satjipto Rahardjo,Dalam satjipto Rahardjo dan hukum Progresif. .Jkt. Epistema,2011;45.
[18] Ibid.
[19] Satjpto Rahardjo.Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia, Yogyakarta. Genta Publishing,2009;65-68.
[20] Op Cit hal 57-59.
[21] Diktip dari Suteki hal 34.
[22] Ibid hal 34.
[23] Moh. Mahfud MD. Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, Jkt. Pustaka LP3ES,2006;56.
[24] Satjipto Rahardjo, dikutip dalam  Suteki; 55.
[25] Ibid
[26] Ibid .
[27] Ibid hal 56
[28] Rahardjo. Hukum dalam Jagad Ketertiban, Jkt. UKI Pers,2006;9-15.
[29] Rahardjo,  Membedah Hukum Progresif, Jkt. Kompas Book, 2007;24.
[30] Rahardjo dalam Suteki hal  57.
[31] Philip Nonet dan Philip Selznick, Bdg. Nusa Media, 2011;94.
[32] Dalam Suteki Op Cit hal  57.
[33] Satjipto Rahardjo; Hukum dalam jagat Ketertiban….. Op Cit hal 75-81.
[34] Stajipto.; Hukum Progresif:” sebuah sintesa Hukum Indonesia, Jkt. Jkt. Genta Publishing, 2009;67.
[35] Satjipto Rahardjo Loc  Cit hal 17.
[36] Dikutip dari Suteki Op Cit hal 58. 

Selasa, 03 Mei 2016

Hukum Humaniter


BAB I
PENDAHULUAN
Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia.
Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalaman- pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.
Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua Negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil, anak-anak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Humaniter
Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971.
Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter, diantaranya:
Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”
S.R Sianturi :“Hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak.“
Panitia tetap hukum humaniter, departemen hukum dan perundang-undangan merumuskan sebagai berikut : “Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah dan ketentuan internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang.”
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict). Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negara-negara yang sering disebut traktat atau konvensi dan secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan demikian, maka hukum humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian internasional, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui.
B.     Tujuan Hukum Humaniter
Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan. Dengan alasan-alasan ini, kadang-kadang hukum humaniter disebut sebagai ”peraturan tentang perang berperikemanusiaan”. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Oleh karena itu, perkembangan hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata dan kemudian menjadi hukum humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh hukum humaniter tersebut, yaitu :
1.         Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).
2.         Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.
3.         Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini yang terpenting adalah asas kemanusiaan.
C.     Hukum Jenewa
Obyek hukum Jenewa adalah menyelamatkan korban dari keadaan sengketa bersenjata yaitu para angkatan bersenjata yang tidak terlibat tindakan pertempuran (out of action), baik yang terluka, sakit, korban karam, atau para tawanan perang, maupun penduduk sipil yang pada umumnya orang yang tidak lagi ambil bagian dalam permusuhan.
Empat konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 merupakan himpunan dari peraturan-peraturan perlindungan ini. Konvensi ini diterima secara massal oleh 188 negara. Konvensi-konvensi ini telah diperkuat dan dilengkapi dengan penerimaan dua protokol tambahan 10 Juni 1977 (protokol I berkaitan dengan sengketa bersenjata internasional dan protokol II berkaitan dengan Sengketa Bersenjata non internasional), yang telah diratifikasi pada tanggal 31 Maret 1997 masing-masing oleh 147 dan 139 negara.
D.    Hubungan Hukum Humaniter dengan Hak Asasi Manusia
Sangat penting untuk memahami pengertian istilah “hak bangsa-bangsa, hak asasi manusia dan hukum humaniter”. Hal ini penting untuk mengetahui kapan sesungguhnya konsep-konsep tersebut termasuk ke dalam suatu sistem hukum. Ini menjadikannya penting untuk menegaskan hakikat hukum humaniter dan hakikat hukum hak asasi manusia dan mengingat persamaan dan perbedaan diantara dua cabang hukum internasional publik ini. Juga sangatlah penting bagi mereka yang bertanggungjawab menyebarkan penerangan mengenai hukum humaniter internasional dan atau hukum hak asasi manusia untuk mampu memberikan penjelasan sesungguhnya mengenai subyek tersebut. Ini adalah kepentingan terbesar orang yang dilindungi oleh kedua hukum, tetapi juga membantu para pejabat Negara yang bertanggungjawab atas perlindungan tersebut.
Pada mulanya, tidak pernah ada perhatian mengenai hubungan hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Pernyataan Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) 1948 tidak menyinggung tentang penghormatan hak asasi manusia pada waktu sengketa bersenjata. Sebaliknya, dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949 tidak menyinggung masalah hak asasi manusia, tetapi tidak berarti bahwa konvensi-konvensi Jenewa dan hak asasi manusia tidak memiliki kaitan sama sekali. Antara keduanya terdapat hubungan keterkaitan, walaupun tidak secara langsung. Di satu sisi ada kecenderungan untuk memandang ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1949 tidak hanya mengatur mengenai kewajiban bagi negara-negara peserta, tetapi juga mengatur tentang hak orang perorangan sebagai pihak yang dilindungi. Keempat Konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa penolakan hak-hak yang diberikan oleh konvensi-konvensi ini tidak dapat dibenarkan. Apalagi dengan adanya Pasal 3 tentang ketentuan yang bersamaan pada Keempat Konvensi Jenewa 1949 yang mewajibkan setiap negara peserta untuk menghormati peraturan-peraturan dasar kemanusiaan pada sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. Dengan demikian, maka Pasal 3 ini mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya, yang berarti mencakup bidang tradisional dari hak asasi manusia.
Sedangkan di sisi lain, dalam konvensi-konvensi tentang hak asasi manusia terdapat pula berbagai ketentuan yang penerapannya justru pada situasi perang. Konvensi Eropa tahun 1950, misalnya dalam Pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang atau bahaya umum lainnya yang mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang dijamin dalam konvensi ini tidak boleh dilanggar. Meskipun dalam keadaan demikian, paling tidak ada 7 (tujuh) hak yang harus tetap dihormati, karena merupakan intisari dari Konvensi ini, yaitu hak atas kehidupan, kebebasan, integritas fisik, status sebagai subyek hukum, kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi dan hak atas keamanan. Ketentuan ini terdapat juga dalam Pasal 4 Kovenan PBB mengenai hak-hak sipil dan politik dan Pasal 27 Konvensi HAM Amerika.
Selain itu, terdapat pula hak-hak yang tak boleh dikurangi (non derogable rights), baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak yang tak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip (perlakuan) non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku surutnya hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan (slavery), perhambaan (servitude), larangan penyimpangan berkaitan dengan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penjatuhan hukum tanpa putusan yang dimumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang lazim, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf (d) yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa.
Dalam hukum humaniter internasional, pengaturan mengenai hak-hak yang tak dapat dikurangi ini antara lain tercantum dalam ketentuan Pasal 3 tentang ketentuan yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa 1949. Pasal ini penting karena membebankan kewajiban kepada “pihak peserta agung” untuk tetap menjamin perlindungan kepada orang perorangan dengan mengesampingkan status “belligerent” menurut hukum atau sifat dari sengketa bersenjata yang terjadi itu. Kesadaran akan adanya hubungan hak asasi manusia dan hukum humaniter baru terjadi pada akhir tahun 1960-an. Kesadaran ini makin meningkat dengan terjadinya berbagai sengketa bersenjata, seperti dalam perang kemerdekaan di Afrika dan di berbagai belahan dunia lainnya yang menimbulkan masalah, baik dari segi hukum humaniter maupun dari segi hak asasi manusia. Konferensi internasional mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh PBB di Teheran pada tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Humaniter Internasional (HHI).
Dalam Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata”, meminta agar konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata diterapkan secara lebih sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini mendorong PBB untuk menangani pula Hukum Humaniter Internasional. Ada 3 (tiga) aliran berkaitan dengan hubungan hokum humaniter internasional :
1.      Aliran Integrationis
Aliran integrationis berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal dari hukum yang lain. Dalam hal ini, maka ada 2 (dua) kemungkinan. Pertama, hak asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional, dalam arti bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia. Pendapat ini antara lain dianut oleh Robertson, yang menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar bagi setiap orang, setiap waktu dan berlaku di segala tempat. Jadi hak asasi manusia merupakan genus dan hukum humaniter merupakan species-nya, karena hanya berlaku untuk golongan tertentu dan dalam keadaan tertentu pula. Kedua, Hukum Humaniter Internasional merupakan dasar dari Hak Asasi Manusia, dalam arti bahwa hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa hukum humaniter lahir lebih dahulu dari pada hak-hak asasi manusia. Jadi secara kronologis, hak asasi manusia dikembangkan setelah hukum humaniter internasional.
2.      Aliran Separatis
Melihat Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan, karena keduanya berbeda. Menurut  separatis Perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada:
a.       Objeknya
Hukum Humaniter Internasional mengatur sengketa bersenjata antara negara dengan kesatuan (entity) lainnya; sebaliknya hak asasi manusia mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya di dalam negara tersebut.
b.      Sifatnya
Hukum Humaniter Internasional bersifat mandatory a political serta peremptory.
c.       Saat berlakunya
Hukum Humaniter Internasional berlaku pada saat perang atau masa sengketa bersenjata, sedangkan hak asasi manusia berlaku pada saat damai. Salah seorang dari penganut teori ini adalah Mushkat, yang menyatakan bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa hukum humaniter itu berhubungan dengan akibat dari sengketa bersenjata antar negara, sedangkan hak asasi manusia berkaitan dengan pertentangan antara pemerintah dengan individu di dalam negara yang bersangkutan. Hukum humaniter mulai berlaku pada saat hak asasi manusia sudah tidak berlaku lagi; hukum humaniter melindungi mereka yang tidak mampu terus berperang atau mereka yang sama sekali tidak turut bertempur, yaitu penduduk sipil. Hak asasi manusia tidak ada dalam sengketa bersenjata karena fungsinya diambil oleh hukum humaniter, tetapi terbatas pada golongan tertentu saja.
3.      Aliran Komplementaris
Aliran Komplementaris melihat Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional melalui proses yang bertahap, berkembang sejajar dan saling melengkapi. Salah seorang dari penganut teori ini adalah Cologeropoulus, dimana Ia menentang pendapat aliran separatis yang dianggapnya menentang kenyataan bahwa kedua sistem hukum tersebut memiliki tujuan yang sama, yakni perlindungan pribadi orang. Hak asasi manusia melindungi pribadi orang pada masa damai, sedangkan hukum humaniter memberikan perlindungan pada masa perang atau sengketa bersenjata. Aliran ini mengakui adanya perbedaan seperti yang dikemukakan oleh aliran separatis, dan menambahkan beberapa perbedaan lain, yaitu :
a.       Dalam pelaksanaan dan penegakan
Hukum humaniter menggantungkan diri pada atau menerapkan sistem Negara pelindung (protecting power). Sebaliknya hukum hak asasi manusia sudah mempunyai aparat dan mekanisme yang tetap, tetapi ini hanya berlaku di negara-negara Eropa saja, yaitu diatur dalam Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa.
b.      Dalam hal sifat pencegahan
Hukum humaniter internasional dalam hal kaitannya dengan pencegahan menggunakan pendekatan preventif dan korektif, sedangkan hukum hak asasi manusia secara fundamental menggunakan pendekatan korektif, yang diharapkan akan mempunyai efek preventif. Walaupun hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia keduanya didasarkan atas perlindungan orang, terdapat perbedan khas dalam lingkup, tujuan dan penerapan diantara keduanya. Hukum humaniter internasional berlaku dalam kasus-kasus sengketa bersenjata, baik internasional maupun non internasional atau perang saudara (civil war). Di satu pihak, hukum humaniter internasional terdiri atas standar-standar perlindungan bagi para korban sengketa, disebut hukum Jenewa, dan di lain pihak peraturan-peraturan yang berkaitan dengan alat dan cara berperang dan tindakan permusuhan, juga dikenal sebagai hukum Den Haag.
Dewasa ini, dua perangkat perturan itu telah digabung dan muncul dalam Protokol- protokol tambahan pada Konvensi Jenewa yang diterima tahun 1977. Hukum hak asasi manusia, sebaliknya bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa hak-hak dan kebebasan  sipil, politik, ekonomi dan budaya  dan setiap orang perorangan dihormati pada segala waktu, untuk menjamin bahwa dia dapat berkembang sepenuhnya dalam masyarakatnya dan melindunginya jika perlu terhadap penyalahgunaan dari para penguasa yang bertanggungjwab. Hak-hak ini tergantung pada hukum nasional dan sifatnya yang sangat fundamental dijumpai dalam konstitusi negara-negara. Namun hukum hak asasi manusia juga berkaitan dengan perlindungan internasional hak asasi manusia, yakni aturan-aturan yang disetujui untuk dipatuhi oleh negara-negara dalam kaitannya dengan hak dan kebebasan orang perorangan dan bangsa. Hukum humaniter internasional secara khusus dapat dianggap dimaksudkan untuk menjamin dan memelihara hak-hak dasar (untuk hidup, keamanan, kesehatan, dsb) dari korban dan non-kombatan dalam peristiwa sengketa bersenjata. Ada hukum darurat yang diperintahkan karena keadaan-keadaan khusus, sedangkan hak asasi manusia, yang berjalan dengan sangat baik di masa damai, terutama berkaitan dengan perkembangan yang harmonis dari setiap orang.
Dengan demikian, walaupun hukum humaniter berlaku pada waktu sengketa bersenjata dan hak asasi manusia berlaku pada waktu damai. Namun inti dari hak-hak asasi atau “hard core rights” tetap berlaku sekalipun pada waktu sengketa bersenjata. Keduanya saling melengkapi. Selain itu, ada keterpaduan dan keserasian kaidah-kaidah yang berasal dari instrument-instrumen hak asasi manusia dengan kaidah-kaidah yang berasal dari instrument-instrumen hukum humaniter internasional. Keduanya tidak hanya mengatur hubungan diantara negara dengan negara dengan menetapkan hak-hak dan kewajiban mereka secara timbal balik.
Selain hal tersebut, terdapat pula persamaan antara Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional. Persamaan tersebut antara lain :
1)      Sebagaimana ketentuan-ketentuan dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia, Konvensi Jenewa 1949 dan protokol-protokolnya yang memberikan kewajiban kepada negara peserta dan menjamin hak-hak individual dari orang-orang yang dilindungi.
2)      Hukum humaniter internasional menentukan kelompok-kelompok orang yang dilindungi, seperti orang-orang yang cedera dan tawanan perang, sedangkan hak asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa memberikan status khusus. Akan tetapi dalam perkembangan terakhir, hukum humaniter internasional mengikuti pendekatan yang sama dengan sistem hak asasi manusia, dengan memperluas perlindungan hukum humaniter internasional bagi semua orang sipil.
3)       Di satu sisi landasan pengaturan hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang berkaitan dengan manusia, yaitu : kehidupan, kebebasan, keamanan, status sebagai subyek hukum, dsb.
Atas dasar tersebut dibuatlah peraturan-peraturan untuk menjamin perkembangan manusia dalam segala segi. Di sisi lain hukum humaniter internasional (HHI) dimaksudkan untuk membatasi kekerasan dan dengan tujuan ini, hukum humaniter internasional (HHI) memuat peraturan-peraturan yang menjamin hak-hak manusia yang sama, karena hak-hak tersebut merupakan hak-hak minimal.
Intisari dari hak-hak asasi manusia (hard core rights) atau dapat juga disebut sebagai hak-hak yang paling dasar, menjamin perlindungan minimal yang mutlak dihormati terhadap siapapun, baik di masa damai maupun di waktu perang. Hak-hak ini merupakan bagian dari kedua system hukum tersebut. Oleh karena itu, maka kedua bidang ini merupakan instrumen-instrumen hokum yang memberikan perlindungan hukum kepada orang perorangan. Instrumen-instrumen hukum yang memberikan perlindungan hukum kepada orang perorangan ini dapat digolongkan ke dalam empat kelompok :
1)      Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang perorangan sebagai anggota masyarakat. Perlindungan ini meliputi segenap segi perilaku perorangan dan sosialnya. Perlindungan ini bersifat umum. Kategori ini justru mencakup hukum hak asasi manusia internasional.
2)      Instrumen yang bertujuan melindungi orang perorangan berkaitan dengan keadaannya di dalam masyarakat, seperti hukum internasional tentang perlindungan terhadap kaum wanita dan hukum internasional berkaitan dengan perlindungan terhadap anak.
3)      Instrumen hukum yang bertutujuan melindungi orang perorangan dalam kaitannya dengan fungsinya di dalam masyarakat, seperti hukum internasional tentang buruh.
4)      Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang perorangan dalam keadaan darurat, apabila terjadi situasi yang luar biasa dan yang mengakibatkan ancaman adanya pelanggaran hak asasi atas haknya yang biasanya dijamin oleh hukum yang berlaku, seperti hukum internasional tentang pengungsi dan hukum humaniter internasional yang melindungi para korban akibat sengketa bersenjata.
BAB III
KESIMPULAN
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict). Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negara-negara yang sering disebut traktat atau konvensi dan secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan demikian, maka hukum humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian internasional, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui.