
I. Pendahuluan
Tiga tahun sebelum menginjak
abad XXI, terjadi peristiwa besar di Indonesia mengawali abad yang dinantikan oleh seluruh
masyarakat dunia. Gerakan Reformasi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 demikian dasyat
sehingga mampu menggulingkan pemerintahan Orde Baru, yang dianggap sudah tidak
populer untuk memjalankan pemerintahan Indoesia. Sejalan dengan terjadinya gerakan Reformasi marak pula
isu-isu heroik yang berkaitan dengan penegakan demokrasi, upaya menghindari
disintegrasi, upaya pembentukan pemerintahan yang baik dan bersih, kredibilitas
pemimpin, pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), pemberdayaan
masyarakat, pembangunan berkelanjutan, pembentukan otonomi daerah , dan masih
banyak isu-isu lainnya.
Gerakan Reformasi yang gencar dan luas
merupakan akumulasi dari carut-marut pemerintahan yang sudah tidak sesuai
dengan harapan masyarakat, ditambah dengan krisis ekonomi yang parah. Akar
kekacauan tersebut di atas adalah pemerintah Orde Baru yang dianggap melaksanakan pemerintahan
sentralistik, otoriter dan korup. Dengan
jatuhnya pemerintahan Orde Baru semakin
gencar pula tuntutan masyarakat, baik di tingkat elite pusat maupun daerah untuk memberlakukan otonomi daerah secara
lebih luas .
Otonomi daerah sebagai suatu sistim
pemerintahan di Indonesia yang desentralistis bukan merupakan hal yang
baru. Penyelenggaraan otonomi daerah sebenarnya sudah diatur dalam UUD 1945.
Walaupun demikian dalam perkembangannya selama ini pelaksanaan otonomi daerah
belum menampakkan hasil yang optimal. Setelah gerakan Reformasi berlangsung dan
pemerintahan Suharto jatuh, wacana untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi
daerah terdengar kembali gaungnya, bahkan lebih keras dan mendesak untuk segera
dilaksanakan. Tuntutan masyarakat untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah
disambut oleh presiden Habibie sehingga kemudian ditetapkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dengan disahkannya kedua undang-undang tersebut, maka terjadi perubahan
paradigma, yaitu dari pemerintahan sentralistis ke pemerintahan desentralistis.
Berdasarkan undang-undang otonomi daerah tersebut, pemberlakuan undang-undang
tersebut efektif dilaksanakan setelah
dua tahun sejak ditetapkannya. Pada masa pemerintahan presiden Abdurachman
Wachid Undang-undang Otonomi Daerah mulai diterapkan pada tanggal 1 Januari
2001 (Riyadi dan Bratakusumah, 2003 : 343).
II. Penerapan Otonomi Daerah
Di Indonesia
Otonomi yang berasal dari kata autonomos
(bahasa Yunani) mempunyai pengertian
mengatur diri sendiri. Pada hakekatnya otonomi daerah adalah upaya untuk
mensejahterakan masayarakat melalui
pemberdayaan potensi daerah secara optimal. Makna otonomi daerah adalah daerah
mempunyai hak , wewenang dan kewajiban untuk mengurus rumah tangganya sendiri
sesuai dengan peraturan peundang-undangan yang berlaku (Pusat Bahasa , 2001 :
805). Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 pasal 14 menyebutkan bahwa kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan . Aspek “ prakarsa sendiri “ dalam otonomi daerah
memberikan “roh” pada penyelenggaraan
pembangunan daerah yang lebih participatory. Tanpa upaya untuk
menumbuh-kembangkan prakarsa setempat, otonomi daerah yang diharapkan dapat
memberikan nuansa demokratisasi pembangunan daerah, akan kehilangan makna
terpentingnya.
Otonomi yang luas sebenarnya merupakan
penjabaran dari desentralisasi secara utuh. Idealnya pelaksanaan otonomi yang
luas harus disertai pula dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan,
pemerataan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, penggalian potensi dan
keanekaragaman daerah yang difokuskan
pada peningkatan ekonomi di tingkat kabupaten dan kotamadia.
Implementasi
otonomi daerah dapat dilihat dari bebagai segi yaitu pertama, dilihat dari segi
wilayah (teritorial) harus
berorientasi pada pemberdayaan dan penggalian potensi daerah. Kedua, dari segi
struktur tata pemerintahan berorientasi pada pemberdayaan pemerintah daerah
dalam mengelola sumber-sumber daya yang dimilikinya secara bertanggung jawab dan
memegang prinsip-prinsip kesatuan negara dan bangsa. Ketiga, dari segi
kemasyarakatan berorientasi pada pemberdayaan dan pelibatan masyarakat dalam pembangunan di berbagai
daerah sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Undang-undang dan peraturan
tentang otonomi daerah sudah disusun sejak Indonesia merdeka .Hal ini
menunjukkan bahwa para pemimpin negara dari jaman Orde Lama, Orde Baru sampai
pemimpin negara saat ini sudah
memikirkan betapa penting otonomi daerah mengingat wilayah Indonesia yang
demikian luas yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemberian otonomi kepada
daerah pada dasarnya merupakan upaya pemberdayaan dalam rangka mengelola
pembangunan di daerahnya. Daerah diharapkan sedikit demi sedikit mampu
melepaskan ketergantungannya terhadap bantuan pemerintah pusat dengan cara meningkatkan kreativitas, meningkatkan inovasi dan meningkatkan kemandiriannya.
Bila pelaksaan otonomi daerah sesuai
dengan peraturan dan perundang-undangan yang telah disusun, maka harapan indah
untuk mewujudkan “daerah membangun“ (bukan
“membangun daerah”), dapat segera tercapai. Otonomi daerah memberikan
harapan cerah kepada daerah untuk lebih
meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka
memberikan efektifitas pelayanan kepada masyarakat .Hal lain yang tidak kalah penting adalah daerah
dapat melaksnakan fungsi-fungsi pembangunan serta mengembangkan prakarsa
masyarakat secara demokratis , sehingga sasaran pembangunan diarahkan dan
disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan yang ada di daerah.
Pada kenyataannya sangat
ironis bila pelaksanaan dan penerapan otonomi daerah sejak Orde Lama, Orde Baru
dan sampai saat ini tidak pernah tuntas. Berbagai faktor penyebab
pelaksanaan otonomi daerah yang tidak mulus adalah karena distorsi
kepentngan-kepentingan politik penguasa yang menyertai penerapan otonomi daerah
sehingga penguasa cenderung tetap melaksanakan pemerintahan secara sentralistik
dan otoriter. Selain itu kepentingan-kepentingan politik para pemimpin negara
untuk memerintah dan berkuasa secara absolut dengan mempolitisir otonomi daerah
mengakibatkan otonomi daerah semakin tidak jelas tujuannya. Suatu contoh
yaitu pada masa pemerintahan presiden
Suharto telah ditetapkan proyek percontohan untuk menerapkan otonomi daerah di
26 daerah tingkat II berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, tetapi tidak
ada hasilnya.
Penerapan otonomi
daerah melalui Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 saat ini masih mencari bentuk, karena sikap pemerintah yang masih “
mendua “. Di satu pihak pemerintah sadar bahwa otonomi daerah sudah sangat
mendesak untuk segera dilaksanakan secara tuntas, tetapi di lain pihak
pemerintah juga berusaha tetap mengendalikan daerah secara kuat pula. Hal ini
terlihat pada kewenangan-kewenangan yang cukup luas yang masih ditangani pemerintah terutama yang sangat
potensial sebagai sumber keuangan. Selain itu kewenangan pemerintah yang lain ,
yang juga dapat mengancam pelaksanaan otonomi daerah adalah otoritas pemerintah
untuk mencabut otonomi yang telah
diberikan kepada daerah. Selama kurang
lebih empat tahun sejak dicanangkannya otonomi daerah di Indonesia , pemberdayaan daerah yang
gencar diperjuangkan pada kenyataannya belum dilaksanakan secara optimal.
Pembangunan di daerah kurang memperhatikan kebutuhan dan kepentingan
masyarakat. Keputusan-keputusan pemerintah serta program-program pembangunan
tidak menyertakan masyarakat, sehingga program-program pembangunan di daerah
cenderung masih bersifat top down daripada bottom
up planning .
III.
Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia
Selama kurang lebih 60 tahun Indonesia medeka, otonomi daerah turut
mengiringi pula perjalanan bangsa Indonesia . Pada masa Orde Lama
otonomi daerah belum sepenuhnya dilaksanakan, karena pimpinan negara yang menerapkan demokrasi terpimpin cenderung
bersikap otoriter dan sentralistis dalam melaksanakan pemerintahannya. Demikian
pula pada masa pemerintahan Orde Baru dengan demokrasi Pancasilanya,
pelaksanaan pemerintahan masih cenderung bersifat sentralistis dan otoriter .
Selain itu pada kedua masa tersebut banyak terjadi distorsi kebijakan yang
terkait dengan otonomi daerah. Tentu saja kita belum dapat melihat dampak dan
pengaruh dari pelaksanaan otonomi daerah pada kedua masa itu, karena pada
kenyataannya otonomi daerah belum dilaksanakan sepenuhnya, walaupun sudah
banyak Undang-undang dan peraturan yang dibuat untuk melaksanakan otonomi
daerah tersebut.
Pada masa Reformasi tuntutan untuk
melaksanakan otonomi daerah sangat gencar sehingga pemerintah secara serius pula menyusun kembali Undang-undang yang mengatur
otonom daerah yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Setelah 2 tahun memalui
masa transisi dan sosialisasi untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah
tersebut,maka otonomi daerah secara resmi berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001,
pada masa pemerintahan presiden Abdurachaman Wachid. Setelah kurang lebih 4
tahun otonomi daerah diberlakukan, dampak yang terlihat adalah muncul dua
kelompok masyarakat yang berbeda pandangan tentang otonomi daerah. Di satu sisi
ada masyarakat yang pasif dan pesimis terhadap keberhasilan kebijakan
otonomi daerah, mengingat pengalaman-pengalaman pelaksanaan otonomi daerah pada
masa lalu. Kelompok masyarakat ini tidak terlalu antusias memberikan dukungan
ataupun menuntut program-program yang telah ditetapkan dalam otonomi
daerah. Di sisi yang lain ada kelompok masyarakat
yang sangat optimis terhadap keberhasilan kebijakan otonomi daerah karena kebijakan
ini cukup aspiratif dan didukung oleh hampir seluruh daerah dan seluruh
komponen.
Antusiasme dan tuntutan untuk
segera melaksanakan otonomi daerah juga berdatangan dari kelompok-kelompok yang secara ekonomis dan politis mempunyai
kepentingan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Selain itu masyarakat yang masih
dipengaruhi oleh euforia reformasi menganggap otonomi daerah adalah kebebasan
tanpa batas untuk melaksanakan pemerintahan sesuai dengan harapan dan dambaan
mereka. Masyarakat dari daerah yang kaya sumberdaya alamnya, tetapi tidak
menikmati hasil-hasil pembangunan selama ini, menganggap otonomi daerah
memberikan harapan cerah untuk meningkatkan kehidupan mereka. Harapan yang
besar dalam melaksanakan otonomi daerah telah mengakibatkan daerah-daerah
saling berlomba untuk menaikan pendapatan asli daerah (PAD). Berbagai contoh
upaya gencar daerah-daerah untuk meningkatkan PAD dengan cara yang paling mudah yaitu dengan
penarikan pajak dan retrebusi secara intensif. Contoh lain, tidak jarang
terjadi sengketa antar daerah yang memperebutkan batas wilayah yang mempunyai
potensi ekonomi yang tinggi. Perebutan sumber pendapatan daerah sering juga
terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemikiran yang bersifat
regional, parsial, etnosentris, primordial , seringkali mewarnai pelaksanaan
otonomi daerah sehingga dikhawatirkan dapat menjadi benih disintegrasi bangsa.
Selain dampak negatif dari
pelaksanaan otonomi daerah seperti tersebut di atas, juga ada dampak positif
yang memberikaan harapan keberhasilan otonomi daerah. Suasana di daerah-daerah
dewasa ini cenderung saling berpacu untuk meningkatkan potensi daerah
dengan berbagai macam cara. Seluruh
komponen masyarakat mulai dari pemerintah daerah dan anggota masyarakat umumnya
diharapkan dapat mengembangkan kreativitasnya dan dapat melakukan inovasi
diberbagai bidang . Pengembangan dan inovsi bidang-bidang dan sumberdaya yang
dahulu kurang menarik perhatian untuk dikembangkan, sekarang dapat menjadi
potensi andalan dari daerah. Selain itu otonomi daerah memacu menumbuhkan
demokratisasi dalam kehidupan masyarakat,
memacu kompetisi yang sehat, pendstribusian kekuasaan sesuai dengan
kompetensi .
IV.
Perubahan Budaya Sebagai Akibat Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia
Pelaksanaan otonomi daerah di
berbagai daerah di Indonesia
telah menimbulkan dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif seperti
beberapa contoh yang telah penulis sebutkan di atas. Selain itu otonomi daerah
juga telah membawa perubahan-perubahan budaya dalam masyarakat Indonesia .
Pengertian budaya atau kebudayaan dalam
arti luas menurut E.B.Tylor adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan-kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan
manusia sebagai anggota masyarakat melalui proses belajar (Tylor dalam Soekanto , 1969 : 55). Dalam
pengertian sempit, kebudayaan diartikan sebagai hasil cipta, karya dan karsa
manusia untuk mengungkapkan hasratnya akan keindahan . Jadi pengertian
kebudayaan dalam arti sempit adalah berupa hasil-hasil kesenian.
Perubahan kebudayaan yang akan
dibahas dalam tulisan ini difokuskan pada bahasan kebudayaan dalam arti luas,
dalam arti perubahan perilaku pemerintah dan
masyarakat yang terkait dengan bidang politik, pemerintahan, ekonomi,
sosial dan sebagainya, walaupun bahasannya secara umum dan tidak mengupas seluruh aspek dari bidang-bidang tersebut.
Sejalan dengan tekat pemerintah
untuk melaksanakan otonomi daerah, maka telah terjadi perubahan-perubahan
paradigma (Warseno dalam Ambardi dan Prihawantoro, 2002 : 181), yaitu antara
lain :
·
Paradigma dari sentralisasi ke
desentralisasi
·
Paradigma kebijakan tertutup ke
kebijakan terbuka (transparan)
·
Paradigma yang menjadikan
masyarakat sebagai obyek pembangunan ke masyarakat yang menjadi subyek
pembangunan.
·
Paradigma dari otonomi yang
nyata dan bertanggungjawab ke otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
·
Paradikma dari organisasi yang tidak
efisien ke organisasi yang efisien .
·
Paradigma dari perencanaan dan
pelaksanaan program yang bersifat top
down ke paradigma sistem perencanaan campuran top down dan bottom- up
Perubahan paradigma ini juga merubah budaya masyarakat dalam
melaksanakan kegiatannya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Perubahan
paradigma pemerintahan sentralisasi ke pemerintahan desentralisasi telah
menyebabkan kebingungan pada aparat pemerintah daerah yang sudah terbiasa
menerima program-program yang telah dirancang oleh pemerintah pusat. Sekarang
mereka dituntut untuk melaksanakan pemerintahan yang efisien dan berorientasi
pada kualitas pelayanan serta melibatkan partisipasi masyarakat. Pemerintah
Daerah dituntut untuk secara mandiri melaksanakan aktivitas perencanaan, pelaksanaan
sampai pada pengawasan program pembanguan yang dilaksanakan di daerahnya. Selain itu daerah dituntut kemampuannya untuk membiayai
sebagian besar kegiatan pembangunannya sehingga diperlukan sumberdaya manusia
yang berkualitas, kreatif, inovatif ,
yang diharapkan dapat menghasilkan pemikiran , konsep dan kebijakan dalam
rangka mencari sumber pembiayaan pembangunan tersebut. Perubahan paradigma
dalam waktu yang relatif singkat, tentu saja belum membuat para aparat
pemerintah daerah dan masyarakat memahami sepenuhnya hakekat dan aturan-aturan
pelaksanaan otonomi daerah. Walaupun demikian sedikit demi sedikit aparat
pemerintah daerah dan masyarakat mulai belajar menyesuaikan diri dengan iklim
otonomi daerah. Aktivitas yang mengarah pada efisiensi dan upaya peningkatan
kualitas pelayanan, inovasi dan kreativitas dalam penggalian potensi daerah
mulai digiatkan. Beberapa contoh dapat disebutkan yaitu bahwa instansi-instansi
pemerintah di daerah giat mendorong para pegawainya untuk meningkatkan dan mengembangkan
ketrampilan dan keahliannya melalui peningkatan pendidikan, baik formal maupun
non formal. Contoh yang lain adalah pemangkasan prosedur birokrasi yang
bertele-tele, dengan tujuan untuk efisiensi .
Iklim keterbukaan yang mewarnai otonomi
daerah telah membawa perubahan pada perilaku masyarakat yang semula tidak
diberi kesempatan untuk mengetahui dan berperan dalam perencanaan, pelaksanaan
dan pengawasan pembangunan kemudian
diberi kesempatan untuk terlibat dalam program-program pembangunan. Keadaan ini
kemudian melahirkan sikap-sikap yang kadang-kadang sangat berlebihan.
Masyarakat yang masih awam dengan penerapan sistim demokrasi menganggap bahwa
semua masalah pemerintahan juga harus dipertanggungjawabkan secara langsung
kepada mereka. Pada awal masa reformasi kita dapat melihat maraknya demonstrasi
masyarakat yang kadang-kadang sangat brutal dan kasar menuntut agar pejabat-pejabat pemerintahan yang dianggap
telah menyimpang dalam melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan kepadanya
diadili atau mengundurkan diri.
Masyarakat seolah-olah sudah tidak mempunyai kepercayaan kepada lembaga
yang dapat menyalurkan aspirasi mereka, sehingga tindakan main hakim sendiiri
menjadi pemandangan yang sangat umum. Sebagai contoh kita dapat melihat pada
peristiwa yang menimpa Bupati Temanggung yang baru-baru ini diminta oleh hampir
seluruh masyarakat Temanggung untuk mengundurkan diri, karena dianggap telah
melakukan korupsi. Bahkan para pegawai negeri di Temanggung melakukan demonstrasi
dan mogok kerja sebagai protes terhadap Bupati. Tentu saja kalau kita melihat
secara proporsional pada tindakan masyarakat terutama para pegawai negeri,
tindakan mogok kerja tersebut merupakan tindakan yang menyalahi aturan dan
dapat dikenakan sanksi karena para pegawai negeri tersebut mengemban tugas
pelayanan kepada masyarakat.
Otonomi daerah yang bertujuan untuk
pengelola daerah atas prakarsa sendiri dalam beberpa bidang mulai menampakkan
perubahan. Satu contoh di beberapa daerah telah disusun hukum dan peraturan
yang disesuaikan dengan kultur (budaya) masyarakat dan perjalanan sejarah
daerah tersebut. Ada
beberapa contoh daerah yang telah menyusun peraturan dan hukum berdasarkan syariat atau hukum Islam. Baru-baru ini di Kabupaten
Bireuen, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) telah diberlakukan hukum cambuk
kepada 15 orang terpidana yang melakukan judi. Hukum cambuk yang mengundang
pro-kontra ini dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 2005 . Pijakan hukum yang
melandasi hukum cambuk adalah Undang-undang
Nomor 14/1999 Tentang Pelaksanaan Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam, Undang-undang Nomor 18/2001 Tentang Otonomi Khusus, dan Peraturan
Daerah (Perda) Nomor 5/2000 Tentang pelaksanaan Syariat Islam. Petunjuk teknis pelaksanaan hukum
cambuk bagi yang melanggar syariat Islam dituangkan dalam Peraturan Gubernur
Aceh Nomor 10/2005 sebagai pengganti Peraturan Daerah (Qanun). Dalam Peraturan
Gubernur ini setidaknya ditetapkan empat kasus yang pelakunya bisa dikenai
hukum cambuk, yaitu judi, berpasangan di tempat gelap dengan orang yang bukan
muhrimnya, minum minuman keras/mabuk dan berzina (Gatra, Nomor 33, 2 Juli
2005). Hukum Cambuk yang dilaksanakan di
Nangroe Aceh Darussalam ini sebenarnya bukan bertujuan untuk
mempertontonkan kesadisan dan kekejaman dari penegak hukum di sana , melainkan untuk membuat jera para
pelaku tindak kraiminal dan agar masyarakat lebih berhati-hati serta
melaksanakan syariat Islam dengan baik dan benar.
Daerah lain yang juga mulai menerapkan
aturan berdasarkan syariat Islam adalah Cianjur. Di sana telah disusun aturan yang menghimbau wanita muslim
mengenakan jilbab serta himbauan kepada suluruh muslim meninggalkan
pekerjaannya untuk segera menunaikan sholat ketika adhan berkumandang.
Pelangaran pada peraturan ini sementara berupa sanksi moral dan sanksi sosial.
Perilaku masyarakat yang terkait dengan
penggalian dan pengembangan potensi
ekonomi juga melahirkan sikap dan kultur berkreasi dan berinovasi untuk menciptakan hal-hal baru. Dalam upaya
meningkatkan daya saing ini beberapa daerah harus memperhatikan potensi
sumberdaya alam, sumberdaya manusia, kultur dan pimpinan/pemegang kebijakan.
Kalau tidak, maka akan terjadi persaingan yang tidak sehat antara kelompok masyarakat di daerah
tersebut, persaingan antar daerah dan lain sebagainya. Bahkan tidak jarang
antar daerah saling berebut lahan atau sumber daya alam yang menjadi sumber
ekonomi . Kadang-kadang ambisi untuk meningkatkan PAD melahirkan sikap “ rakus
“ pada daerah-daerah. Daerah-daerah yang
sangat minim sumberdaya alamnya dipacu untuk
melihat lebih jeli peluang-peluang di sektor ekonomi berskala kecil atau
yang sering disebut sebagai ekonomi kerakyatan (usaha kecil dan menengah). Dari
pengalaman krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1997, ekonomi
rakyat dan sektor informal mampu bertahan dan bahkan mampu menjadi penyangga (buffer) perekonomian daerah , sehingga
mampu menyelamatkan kehidupan rakyat ( Mubyarto, 2001 : 196). Beberapa contoh
daerah yang dapat menyesuaikan diri dengan keadaan setelah krisis ekonomi dan
tetap dapat bertahan dan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya adalah
Kabupaten Sukoharjo dan Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman.
Kabupaten Sukoharjo selama krisis ekonomi tidak terkena dampak yang berarti
karena industri kecil dan sektor informal yang dikembangkan di daerah tersebut
tidak tergantung pada bahan baku
import dan melayani pasar lokal yang cukup luas. Berbeda dengan Kabupaten
Sukoharjo, Desa Banyuraden Kabupaten Sleman berhasil memberdayakan ekonomi
masyarakat melalui pengelolaan dan pengolahan sampah, yang semula menjadi sumber masalah
lingkungan di desa tersebut. Desa Banyuraden berhasil memanfaatkan sampah
menjadi sumber ekonomi masyarakat dengan cara mengolah sampah menjadi kompos
atau pupuk organik dan dan barang
kerajinan. Kita tidak dapat memungkiri bahwa tidak semua daerah berhasil
mengatasi krisis ekonomi melalui pemberdayaan ekonomi rakyat. Banyak daerah
terutama di luar Jawa yang tidak memiliki sumberdaya ekonomi dan sumberdaya
manusia yang memadai patut mendapatkan perhatian yang lebih besar dari
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan
mereka.
V.
Penutup
Menginjak abad XXI ada kebutuhan yang
sangat mendesak untuk melaksanakan otonomi daerah. Pengalaman masa lalu yang
kurang menggembirakan dalam pelaksanaan otonomi daerah diharapkan menjadi
pegangan kuat untuk mewujudkan otonomi daerah sesuai dengan hakekat dan
tujuannya yang mulia. Pelaksanaan otonomi daerah bukan hal yang menakutkan bila
difahami dengan benar dan proporsional. Banyak daerah yang telah
menunjukkan prospek yang menggembirakan.
Modal utama untuk mewujudkan terlaksananya
otonomi daerah secara baik dan benar adalah rasa percaya diri yang besar dan
komitmen yang tinggi dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat
untuk tetap konsisten melaksanakan otonomi daerah sebab otonomi daerah
diharapkan dapat membawa pemerataan dan keadilan. Sistim desentralisasi dan
otonomi daerah menjamin terbukanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan
daerahnya.
Melalui otonomi daerah peluang untuk
melaksanakan demokrasi ekonomi terbuka lebar, sehingga ekonomi kerakyatan yang
selama ini tiak mendapat perhatian, akan mendapat perlindungan. Pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi kerakyatan harus memotivasi masyarakat untuk berkreasi dan
berinovasi agar daerah mempunyai daya tahan dan daya saing di era globalisasi
ini.
Budaya dan perilaku yang muncul sebagai
akibat euforia reformasi yang dapat menimbulkan “kontra produktif” harus
diarahkan menjadi kultur dan perilaku yang produktif dan konstruktif untuk
mewujudkan otonomi daerah yang sehat dan seimbang. Demikian juga budaya-budaya
yang sudah sejak lama tumbuh dalam mayarakat seperti patron client, primordialisme,
etnosentrisme, harus dikendalikan dan diarahkan menjadi nilai positif yang mendukung pembangunan daerah yang
berlandaskan nilai-nilai religius, gotong royong , tenggang rasa dan
sebagainya.
Dalam kurun waktu yang singkat tentu saja
otonomi daerah yang diberlakukan sejak awal tahun 2001 berdasarkan
Undang-undang Nomor 22 /1999 masih menghadapi banyak masalah dalam
pelaksanaannya. Penerapan otonomi secara secara serentak di seluruh wilayah Indonesia
hendaknya terlebih dahulu tidak menerapkan otonomi secara penuh, sebab banyak
daerah-daerah di luar Jawa terutama yang belum siap menghadapi otonomi daerah.
Dengan demikian pelaksanaan otonomi daerah hendaknya melalui pentahapan yang
disesuaikan dengan sistim sosial-budaya masyarakat daerah.
Daftar
Pustaka
Alkadri dkk. (Peny),2001, Tiga
Pilar Pengembangan Wilayah: Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia dan Teknologi. Jakarta : Pusat
Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah.
Ambardi, Urdanus M dan
Prihanwantoro, Socia ,2002, Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah : Kajian Konsep dan Pengembangan, Jakarta : Pusat Pengkajian
Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah
Koesworo,Setiawan, 2005, “Buah
Wacana Pos Ronda” dalam Majalah Gatra Nomor 33 /XI, 2 Juli
Kartasasmita, Ginanjar, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat : Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta
: CIDES
Mokodompit, Agussalim, Eddy, 1994, “
Dimensi Kemasyarakatan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah “, Majalah Manajemen Pembangunan , Nomor 6/II,
Januari
Mubyarto, 1988, Sistim dan Moral Ekonomi Indonesia ,
Jakarta : LP3ES
Mubyarto, 2000, Pemulihan Ekonomi Rakyat Menuju Kemandirian Masyarakat Desa, Yogyakarta : Aditya Media.
Mubyarto, 2001, Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia
Pasca Krisis, Yogyakarta : BPFE.
Nugroho D., Riant, 2000, Otonomi Daerah Desentralisasi Tanpa Revolusi
: Kajian dan Kritik atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia.Jakarta : PT
Elex Media Kompetindo
Soekanto, Soerjono, 1970, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : yayasan Penerbit Universitas Indonesia .
Soemardjan,
Selo (Ed.),2000, Menuju Tata Indonesia Baru,
Jakarta : PT Gramedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar