Dampak
dari perkembangan masyarakat yang demikian cepat, problem-problem sosial baru yang
lahir disebabkan oleh revolusi industri, perkembangan teknologi dan modernisasi tidak dapat dihindarkan, hal ini
memunculkan tuntutan baru bagi suatu tatananmasyarakat modern yang demikian dinamis. Di samping
faktor-faktor tersebut di atas, negara juga semakin banyak mencampuri
urusan-urusan warga negaranya, hal yang semula tidak menjadi perhatiannya.
Perkembangan
yang demikian itu membawa serta peranan dan pengaturan melalui hukum dan
melontarkan suatu bahan baru untuk digarap oleh teoretisi hukum. Dalam keadaan
tersebut akan tampak bahwa cara-cara analisis yang dilakukan melalaui legal positivism (Hukum positif) dirasakan kekurangannya. Serangkaian aktivitas
yang dilakukan masyarakat harus ditangani melalaui teori-teori hukum
baru yang ditengarai dapat memberikan
solusinya. Dengan lahirnya teori hukum (baru) tersebut diharapkan sgala problem
sosial yang muncul ke permukaan dapat terjawab
serta melahirkan keadilan sebagaimana yang diharapkan.
Hukum tidak sebatas berfungsi
meneguhkan pola-pola yang sudah ada, tetapi juga melakukan perubahan ke arah
kebutuhan masa depan. Pendekatan-pendekatan para ahli hukum terhadap bidangnya
pada abad kesembilanbelas dan diteruskan masuk pada abad keduapuluh semakin
banyak memperhatikan kaitan antara hukum dan masyarakat. Hal tersebut didorong
pula dengan munculnya suatu cabang ilmu baru, yaitu sosiologi.
Pada abad kesembilanbelas terjadi
suatu perubahan secara revolusioner yang membawa pengaruh terhadap berbagai
bidang, salah satu pengaruhnya adalah di bidang hukum. Pengaruh tersebut
terutama mengenai cara pandang hukum yang semula bersifat abstrak dan formal
legalistis menuju pada suatu cara pandang yang bersifat yuridis sosiologis atau
yuridis empirik. Madzhab sejarah yang dipelopori von Savigny, telah mulai
menarik perhatian banyak orang dari suatu analisis hukum yang bersifat abstrak
dan ideologic kepada suatu analisis hukum yang difokuskan pada lingkungan
sosial yang membentuknya. Pokok pemikiran Savigny adalah hukum merupakan
perwujudan dan kesadaran masyarakat (Volksgeist),
juga ia berpendapat bahwa semua hukum berasal dan adat istiadat dan kepercayaan
dan bukan berasal dan pembentuk undang-undang. Madzab sejarah itu kemudian membuka
jalan bagi timbulnya aliran-aliran sociological
jurisprudence, yang kemudian juga membawa pengaruh besar terhadap ilmu-ilmu
sosial lain, dan proses kelahiran sosiologi, suatu hal yang patut dicatat bahwa
aspek penentangan terhadap cara pandang hukum yang legalistis formal juga dapat
ditemukan pada pendapat Eugen Ehrlich, salah seorang tokoh aliran sociological jurisprudence, yang
mengatakan bahwa ... at the present as
well as at any other time, the centre of gravity of legal development lies not
in legislation, nor in juristic science, nor in judical decision, but in society
it self.
Hukum itu bukanlah suatu hal yang
statis, hukum dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perkembangan. Hal ini
merupakan suatu konsekuensi logis dikarenakan pertumbuhan dan perkembangan
hukum itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hukum yang ada sekarang ini
tidak muncul secara tiba-tiba begitu saja, melainkan merupakan hasil dari suatu
perkembangan tersendiri. Apabila dikatakan hukum mempunyai perkembangan
tersendiri, maka yang dimaksudkan adalah bahwa terdapat hubungan yang erat dan
timbal balik antara hukum dengan masyarakat. Hal tersebut memang seharusnya
terjadi demikian karena bagaimana pun juga keberadaan hukum terutama ada di
masyarakat.
Krabbe, seorang pemikir hukum Belanda
memberikan tempat utama kepada perasaan hukum (rechtsgefuhl), perasaan hukum anggota masyarakat. Eugen Ehrlich
(1862-1922), ahli hukum dari Austria, merupakan seorang penulis yang bukunya
pertama-tama menyandang judul sosiologi hukum mengutarakan sebagai berikut
Bahwa hukum positif baru
akan efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup di
masyarakat.
Sering dikatakan bahwa suatu buku
harus ditulis dengan suatu cara yang memungkinkan isinya untuk diringkas dalam
suatu kalimat. Apabila buku ini harus diuji dengan persyaratan tersebut, kalimat
itu bisa berbunyi sebagai berikut: Pada waktu sekarang, seperti juga pada waktu
yang lain, pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak pada ilmu hukum, juga
perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, juga tidak pada keputusan hakim,
tetapi di dalam masyarakat sendiri.
Persoalan-persoalan tentang hukum,
pada saat ini tidak lagi merupakan persoalan tentang legalitas formal, tentang
penafsiran serta penerapan pasal-pasal peraturan perundang-undangan secara
semestinya, melainkan bergerak ke arah penggunaan hukum sebagai sarana untuk
turut membentuk tata kehidupan yang baru atau sesuai dengan kondisi saat itu.
Hanya persoalannya, orang/ masyarakat masih terbentuk cara berpikir yang legal-positifistik. Bahkan pendidikan
tinggi hukum pun memberi andil besar terhadap cara berpikir demikian melalui
proses pengajarannya.
Sehubungan dengan hal di atas, pada
kenyataannya dapat dilihat bahwa terutama pada saat ini terdapat perkembangan
adanya suatu perbedaan pandangan tentang hukum, sistem hukum, dan pembinaan
atau pendidikan hukum sebagai suatu alas untuk mencapai tujuan-tujuan sosial
yang bervariasi. Hukum dan masyarakat memiliki
keterkaitan yang erat, hal ini bukan saja dikarenakan hukum merupakan suatu
produk sosial melainkan juga hukum memiliki tujuan untuk menciptakan masyarakat
serta pembangunan yang adil bagi masyarakat yang bersangkutan. Suatu hal yang
pada umumnya sering tenjadi dalam suatu masa transisi atau penubahan, hal yang
biasa terjadi adalah terjadinya kepincangan-kepincangan antara tuntutan keadaan
dan pelayanan atau penanganan yang dapat diberikan hukum. Studi hukum di
Indonesia, sebagian besar masih berkisar pada pengkajian terhadap hukum sebagai
suatu sistem yang dipahamkan secara logik dan konsisten. Dengan perkataan lain,
pengajaran hukum lebih difokuskan pada aspek preskriptifnya, yaitu dengan
memberikan pengetahuan tentang apa hukumnya bagi suatu kejadian tertentu serta
bagaimana mengoperasikan peraturan-peraturan hukum tersebut. Hal tersebut
memang dapat dibenarkan karena tujuan dan pengajaran ilmu hukum adalah mendidik
atau memberikan pengetahuan tentang hukum itu sendiri, sehingga seorang sarjana
hukum dapat memecahkan berbagai masalah-masalah hukum yang dihadapinya.
Namun di sisi lain, kecuali tampak
aspek normatifnya, hukum juga memiliki sisi yang lain, yaitu dalam realitanya.
Yang dimaksud dengan hukum dalam realitanya adalah bukan kenyataan dalam bentuk
pasal-pasal di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, melainkan
sebagaimana hukum itu dijalankan sehari-hari. Bila demikian, seseorang perlu
mencoba untuk mengamati dan mempelajari hukum dalam realitanya. Dengan demikian
orang tersebut harus keluar dan batas peraturan hukum dan mengamati
praktik-hukum atau hukum sebagaimana dijalankan oleh orang-orang dalam
masyarakat. Pada kenyataannya, tuntutan keadaan
sebagaimana dikemukakan di atas menghendaki agar hukum tersebut dipahamkan
sebagai saluran-saluran untuk merumuskan kebijakan policy, dalam
bidang-bidang ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Oleh karena itu studi hukum
sekarang seolah-olah ditarik dari tempatnya yang sedikit banyak terisolasi ke
tengah-tengah persoalan yang hidup dalam masyarakat. Ilmu hukum yang hanya
dilakukan secara normatif, pada tingkat tertentu, saat ini sudah tidak memadai
lagi. ilmu hukum harus memperdalam dan memperluas cakrawalanya dalam
menganalisis suatu masalah. Kini hukum tidak sebatas rule and logic, melainkan social
structure, behaviour.
Pandangan aliran-aliran hukum yang
tergolong menentang cara pandang hukum secara formal-legalistic cenderung mendorong para ahli hukum untuk
mendekatkan diri pada kenyataan-kenyataan sosial. Di samping itu, ilmu hukum
juga didorong untuk lebih memperhatikan keterkaitan antara hukum dengan
kenyataan-kenyataan sosial. Maksudnya adalah bahwa desakan untuk menentukan secara
sistematis tentang bagaimana hubungan antara sistem hukum dengan kenyataan
sosial semakin terasa manakala kenyataannya menunjukkan betapa hukum tersebut
semakin memegang peranan sebagai kerangka kehidupan sosial masyarakat modern.
Secara illustrative perspektif sosiolgical jurisprudency dapat dilihat
dalam sebagai berikut:
Atas dasar bagan tersebut di atas,
dapat diungkapkan bahwa pada masyarakat segmental/primitif, peraturan-peraturan
hukumnya mengandung sanksi represif, sedangkan pada masyarakat yang terdapat
pembagian kerja, hukumnya lebih mengandung sanksi restitutif.
A. A. G. Peters dan Kusrini
Siswosoebroto, mengemukakan bahwa hukum dengan sanksi represif, memperoleh
pernyataan hukumnya yang utama dalam kejahatan dan hukuman. Pelanggaran peraturan-peraturan
sosial berarti kejahatan, dan ini menimbulkan hukuman. Fungsi hukuman ialah
memberikan pernyataan simbolis kepada perasaan kegusaran moral yang disebabkan
oleh kejahatan.
Hubungan hukum dan solidaritas
organis lebih kompleks lagi. Lembaga hukum yang mengatakan dengan jelas
moralitas sosial yang mencirikan solidariti organis ialah kontrak dengan
sanksi-sanksi restitutif sebagai sarana untuk melaksanakannya.
Alant Hunt, mengemukakan bahwa hukum
restitutif berkenaan dengan penyelesaian hubungan-hubungan sosial yang muncul
dari perbedaan-perbedaan dalam hubungan-hubungan kerja sosial, dan hukum
restitutif hanya terdiri dari” The
return of thing as they were, dalam
membentuk kembali hubungan yang sukar ke arah yang normal. Penegakan hukum Pemerintahan daerah
yang hanya mengandalkan teori hukum legisme-positivisme tampaknya tidak akan
mampu mengapresiasi perkembangan zaman dan tradisi baru cara berhukumnya
masyarakat modern-kontemporer. Model berhukum perspekif legisme-positisme hanya
menghadirkan konstruksi pemekiran yang ekslusif. Karenannya menurut Suteki bahwa untuk menghadirkan gambar hukum
yang utuh di tengah masyaraakat mau
tidak mau kita dengan berani harus
mempelajari hukum dan cara berhukum kita dengan berani keluar dari aturan
tradisi penegakan hukum yang hanya bersandarkan kepada peraturan
perundang-undangan. Lebih lanjut Suteki mengatakan
Hukum bukan semata-mata perundang-undangan yang berada dalam ruang hampa yang steriil dari aspek-aspek non
hukum. Hukum harus dilihat dari perspektif sosial, karena hukum bukan hanya rule, melainkan juga behavior, hukum mesti progresif
menyongsong perubahan sosial dengan tetap berupaya mengahdirkan keadilan. Berkaitan dengan deskripsi tersebut
penulis memandang perlu untuk mengemukakan tentang hakikat hukum progressif.
Hukum progressif bertitik tolak dari
dua asumsi, yakni Pertama, Hukum
adalah untuk manusia bukan sebaliknya. Pemikiran Rahardjo tersebut
didasarkan atas elaborasinya terhadap pemikiran hukum yang telah bergeser jauh
dari subsansi ke adilan kea rah hukum yang bersifat teknologis. Dalam konteks hukum modern tersebut
eksistensi hukum alih-alih menciptakan keadilan substansi yang ada adalah
kontradiktif antara satu dengan lainnya.
Asumsi Kedua, Hukum bukan merupakan institusi yang mutlak dan final karena
hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as process, law in the making). Secara
detail Suteki menjelaskan bahwa dalam prespektif hukum progresif manusia berada
di atas hukum, hukum hanya berfungsi sebagai sarana untuk menjamin dan menjaga
berbagai kebutuhan manusia, hukum tidak lagi dipandang sebagai suatu dokumen
yang absolute dan ada secara otonom. Hukum progresif yang berorientasi pada
manusia membawa konsekwensi pada adana
kreativitas. Menurut Suteki, kreativitas tersebut diarahkan pada dua poin
penting, yakni, pertama; untuk
mengatasi ketertinggalan hukum dan
mengatasi ketimpangan hukum, Kedua, Untuk
membuat terobosan-terobosan hukum kalau perlu melakukan rule breaking.
Berkaitan dengan model penegakan hukum perspektif hukum
progresif dalam konteks Negara hukum Indonesia hendaknya kembali kepada
paradigm nilai-nilai filosofis yang terdapat dalam Pancasila. Mahfud MD
mengatakan, bahwa dalam pembangunan dan penegakan hukum seyogyanya
memperhatikan empat kaidah penuntun yakni:
1.Hukum harus melindungi segenap
bangsa dan menjamin keuthan bangsa dan karenanya tidak boleh ada hukum yang
menanamkan benih disintegrasi.
2. Hukum harus menjamin keadilan
sosial dengan memberikan proteksi khusus bagi golongan lemah agar tidak
tereksplitasi dalam persaingan bebas melawan golongan yang kuat.
3. Hukum harus dibangun secara
demokratis sekaligus membangun demokrasi sejalan dengan nomokrasi(Negara
hukum).
4. Hukum tidak boleh
diskriminatif berdasarkan ikatan
primordial apapun dan harus mendorong terciptanya toleransi beragama berdasarkan kemanusiaan yang beradab.
Berdasarkan pemikiran”Politik Hukum “
yang dikonstruksi oleh Mahfud MD tersebut Suteki berpendapat bahwa dalam penegakan hukum dapat melakukan non enforcement of law baik dengan cara sporadic enfocement ataupun dengan cara
partial enforcement apabila dalam implementasinya peraturan hukum
dan penerapannya bertentangan dengan keempat kaidah penuntun tersebu. Artinya apabla pnerapan hukum tidak menunjukan rasa keadilan
dan hati nurani , maka secara prinsip penegak hukum dapat melakukan non
enforcement of law dengan kata lain peraturan tersebut ditingalkan.
Untuk mengetahui lebih jauh
karakteristik hukum progressif di bawah ini penulis beberapa poin penting arah
pemikiran hukum progresif yang telah dielaborasi oleh Suteki sebagai berikut:
1. Hukum progresif itu untuk manusia,
bukan manusia untuk hukum. pada hakikatnya setiap manusia itu baik, sehingga sifat
ini layak menjadi modal dalam membangun kehidupan berhukumnya. Hukum bukan raja (segalanya), tetapi sekadar
alat bagi manusia untuk memberi rahmat kepada dunia dan kemanusiaan. Hukum tidak ada untuk dirinya
sendiri melainkan untuk sesuatu yang lebih
luas dan lebih besar. Maka, setiap ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah
yang ditunjau serta diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk
dimasukan kedalam skema hukum. Oleh karena Pak Tjip juga menulis
tentang perlunya menempatkan system hukum dalam alur besar deep-ecology, maka kata-kata kunci diatas
seyogyanya juga boleh dieja sebagai hukum untuk konteks kehidupan sejagat,
dimana manusia bukan laig titik sentral satu-satunya.
2. Hukum progresif itu harus pro
rakyat dan pro keadilan. Hukum itu harus berpihak kepada rakyat keadilan harus didudukan diatas peraturan.
Para penegak hukum harus berani
menerobos kekakuan teks peraturan diistilahkan sebagai ‘mobilisasi hukum.juga memang teks mencederai rasa
keadilan rakyat. Prinsip pro-rakyat dan
pro-keadilan ini merupakan ukuran-ukuran
untuk menghindari agar progresivisme ini tidak mengalami kemerossotan,
penyelewengan penyalahgunaan, dan hal negative lainya.
3. Hukum progresif bertujuan
mengantarkan manusia kepada kesejahteraan dan kebahagiaan. Hukum harus memiliki
tujuan lebih jauh daripada yang diajukan oleh falsafah liberal. Pada falsafah
pascaliberal, hukum harus mensejahterakan dan membahagiakan. Hal ini juga
sejalan dengan cara pandang orang Timur yang memberikan pengutamaan pada kebahagiaan
4. Hukum progresif selalu dalam
proses menjadi (law as a process law in
the makin). Hukum bukan institusi yang final, melainkan ditentukan oleh
kemampuanya mengabdi kepada manusia. Ia terus menerus membangun dan mengubah
dirinya menuju kepada tingkat
kesempurnaan yang lebih baik. Setiap tahap dalam perjalanan hukum adalah
putusan-putusan yang dibuat guna
mencapai ideal hukum, baik yang dilakukan legislative, yudikatif, maupun
eksekutif. Setiap keputusan bersifat terminal menuju pada putusan berikutnya
yang lebih baik. Hukum tidak pernah bias meminggirkan sama sekali
kekuatan-kekuatan otonom masyarakat untuk mengatur ketertibanya sendiri
kekuatan-keuatan tersebut akan selalu ada dalam bentuk laten. Pada saat
tertentu ia akan muncul dan akan mengmbil alih pekerjaan yang tidak
diselesaikan dengan baik oleh hukm Negara. Maka, sebaiknya hukum itu dibiarkan
mengalir saja.
5. Hukum progresif menekankan hidup
baik sebagai dasar hukum yang baik. Dasar hukum terdapat pada perilaku
bangsanya sendiri karena perilaku bangsa itulah yang menentukan kualitas
berhukum bangsa tersebut. Fundamen hukum
tidak terletak pada bahan hukum (legal
stuff) system hukum, berpikir hukum, dan sebagainya, melainkan lebih kepada
manusia atau perilaku manusia. Ditangan perilaku buruk system hukum akan rusak
tetapi tidak ditangan orang-orang berperilaku baik.
6. Hukum progresif memiliki tipe
responsive. Dalam tipe responsive hukum akan selalu dikaitkan pada
tujuan-tujuan diluar narasi tekstual hukum itu sendiri yang disebut oleh nonet
dan Selznick sebagai the sovereigninty of purpose. Pendapat ini sekaligus mengkiritik
doktrin due process of law. Tipe
responsive menolak otonomi hukum yang
bersifat final dan tidak dapat digugat.
7.
Hukum progresif mendorong peran public . mengingat hukum memiliki kemampuan
yang terbatas, maka mempercayakan segala sesuatu kepada kekuatan hukum adalah
sikap yang tidak realistis dan keliru. Di sisi lain, masyarakat ternyata
memiliki keuatan otonom untuk melindungi dan menata dirinya sendiri. Kekuatan ini
untuk sementara tenggelam di bawah dominasi hukum modern yang notabene adalah
hukum Negara. Untuk itu, hkum progresif sepakat memoblisasi kekuatan otonom
masyarakat (Mendorong peran public).
8. Hukum progresif membangun Negara
hukum yang berhati nurani. Dalam bernegara hukum, yang utama adalah kultur,
dekultural Primacy. Kultur yang dimaksud adaalah kultur pembahagiaan rakyat
keadaan tersebut dapat dicapai apabilai kita tidak berkuta pada the legal structur of states
melainkan harus mengutamakan a
states with conscinenese. Dalam bentuk pertanyaan, hal tersebut akan
berbnyi:” Bernegara hkum untuk apa?” dan dijawab dengan;” bernegara untuk
membahagiakan rakyat”
9. Hukum progresif dijalankan dengan
kecerdasan spiritual, kecerdasan spiritual tidak ingin dibatasi patokan (Rule Bound), juga tidak hanya besifat
kontekstual, tetapi inging keluar dari situasi yang ada dalam usaha mencari
kebenaran makana atau nilai yang lebih dalam (sic penulis-The Deep Values).
10. Hukum
progresif merobohkan, mengganti, dan membebaskan. Hukum progresif menolak Status Quo dan Submissive. Sikap Status qou menyebabkan kita tidak berani
melakukan perubahan dan menganggap doktrin sebagai suatu yang mutlak untuk
dilaksanakan. Sikap demikian hanya merujuk pada maxim’ rakyat untuk hukum .