Entri yang Diunggulkan

RELASI NEGARA DAN HUKUM ISLAM

Prawacana; Setelah membaca tulisan ini diharapkan mahasiswa dapat:       Mengetahui dan memahami pemikirankenegaraan Perspektif I...

Selasa, 18 April 2017

BIROKRASI ADMINISTRASI

Birokrasi dan administrasi menjadi dua buah konsep yang saling berkaita ketika ruang lingkup keduanya mempunyai kesamaan yakni prosedur dan institusi, Dalam konsep administrasi Negara atau administrasi public birokrasi sering diartikan sebagai aparatur penyelenggara Negara yang bersifat structural dan fungsional, padahal dalam konteks birokrasi secara teoritis, mempunyai Kompleksitas pembahasan yang  multidimensi pun demikian ketika kita akan membahas tentang birokrasi Administrasi, bagaimanakah keterkaitan antara keduanya? Maka itulah yang menjadi focus pembahasan makalah dari makalah kami.
Teori Birokrasi dan Administrasi
a.       Birokrasi
Pada hakikatnya birokrasi merupakan struktur organisasi disekitar pemerintahan yang mempunyai ruang lingkup tugas sangat luas serta memerluka organisasi besar dengan sumber daya yang besarpula jumlahnya[1]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :
1.     Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan
2.     Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.[2]
Terminology birokrasi dalam literature administrasi public dan ilmu politik, sering digunakan dalam beberapa pengertian. dari berbagai macam pengertian yang sering muncul dalam teori birokrasi dapat disistematiskan menjadi tiga kategori :
a.       Birokrasi dalam pengertian baik atau rasional (Bureau-rationality)
b.      Birokrasi sebagai suatu penyakit (Bureau-phatology)
c.        Birokrasi dalam pengertian netral (value-free) artinya tidak terkait dengan pengertian baik buruk  (Santoso 1993 : 14)
Birokrasi dalam pengertian yang netral menurut santoso (1993:14) diartikan sebagai seluruh pejabat Negara dibawah pejabat politik atau keseluruhan pejabat Negara pada cabang eksekutif atau setiap organisasi yang bersekala besar.[3]
Menurut Bintoro Tjockro Amidjojo dalam S.Anggra (2012), biokrasi dimaksudkan untuk mengorganisasikan secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Dengan demikian, tujuan dari adanya birokrasi agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan terorganisasi. Bagaimana suatu pekerjaan yang banyak jumlahnya  harus diselesaikan oleh banyak orang sehingga tidak terjadi tumpang tindih didalam penyelesaianya, itulah yang sebenarnya menjadi tugas birokrasi.[4]
Secara cara teori, suatu birokrasi mempunyai berbagai sifat yang dapat dibedakan dan ketentuan lain dari suatu organisasi. Beberapa sifat yang amat penting sebagaimana dikemukakan Thoha dalam bukunya adalah sebagai berikut :
1.      Adanya spesialisasi atau pembagian kerja.
2.      Adanya hierarki yang berkembang.
3.      Adanya suatu sistem dari suatu prosedur dan aturan-aturan.
4.      Adanya hubungan-hubungan kelompok yang bersifat inerpersonalitas
5.      Adanya promosi dan jabatan yang dasarkan atas kecakapan[5]
Max Weber, seorang sosiolog Jerman menulis sebuah alasan yang menggambarkan bentuk birokrasi [2]sebagai cara ideal mengatur organisasi pemerintahan melalui prinsip-prinsip bentuk birokrasi antara lain harus terdapat adanya struktur hirarkis formal pada setiap tingkat dan di bawah kontrol dan dikendalikan dalam sebuah hirarki formal atas dasar dari perencanaan pusat dan pengambilan keputusan, manajemen dengan aturan yang jelas adanya pengendalian melalui aturan yang memungkinkan agar keputusan yang dibuat pada tingkat atas akan dapat dilaksanakan secara konsisten oleh semua tingkat di bawahnya, organisasi dengan fungsional yang khusus pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh mereka yang benar merupakan ahli kemudian disusun dalam unit-unit berdasarkan jenis pekerjaan yang akan dilakukan berdasarkan keahlian, mempunyai sebuah misi target yang akan dituju atau yang sedangkan dilaksanakan dalam upaya agar tujuan agar organisasi ini dapat melayani kepentingan yang akan diberdayakan termasuk dalam misi untuk melayani organisasi itu sendiri harus melalui perhitungan pencapaian pada tujuan, perlakuan secara impersonal idenya agar memperlakukan semua pelaksana dan kepentingan diperlakukan secara sama sama dan tidak boleh dipengaruhi oleh perbedaan individu, bekerja berdasarkan kualifikasi teknis merupakan perlindungan bagi pelaksana agar dapat terhindar dari pemecatan sewenang-wenang dalam saat menjalankan tugasnya[6].
Administrasi
Seringkali kita mendengar kata administrasi dalam kehidupan kita bak udara yang kita hirup, baik sebagai mahasiswa adminstrasi Negara maupun dalam kehidupan diluar status tersebut. namun seyogyana kita harus tetap menkaji kembai what is the meaning of administration. Sebgaimana kita ketahui banyak para ahli ilmu administrasi, para negarawan, termasuk para simpatisan-simpatisan pengetahuan ilmu social lainya turut serta memberikan pandangan mereka perial apa itu adminstrasi.
Dalam kajian ini kami menemukan beberapa pengertian mengenai adminstrasi yang diabahas dalam perspektif yang berbeda. Salah satunya menurut Ulber silalahi dalambukunya mendefiniskan dalam sudut pandang etimologi. Menrutnya administrasi berasal dari bahasa yunani yangtebenruk dari dua suku kata yakni ad dan ministrare yang mana dalam makna infinitifnya dalam bahasa inggris menjadi to manage yang apa bila kita serap kembali dalam bentuk infinitif bahasa Indonesia mempunyai makna memerintah, mengelola, dan melayani. Secara garis besar menurut ulbert administrasi dartikan pelayanan, pengelolaan, dan pemerintahan.[7]
            Berbeda dengan Ulbert S. Prof. Sondang P Siagian mengartikan administrasi sebagai keseluruha proses pelaksanaan dari keputusan-keputusan yang telah diambil dan pelaksanaan itu pada umumnya dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebalumnya.[8]
             Sedangkan menurut hadari nawai dalam bukunya mengartika bahwa admnistrasi adalah rangkaian kegiatannatau proses pengendalian cara atau sistem kerjasama sejumlah orang agar berlangsung efektif dan efisien dalam mewujudkan tujuan bersama[9]
            Definisi para ahli tentang administrasi ini sangat banyak sehingga sehingga kami tidak perlu sajikan satu per satu, karena pada prinsipnnya mempunyai pengertian yang sama yaitu (a). adanya kerjasama (b). dilakukan duaorang atau lebih (c). adanya suatu tujuan yang akan dicapai.
            Pendefinisian diatas diamksudkan sebagai pengertian dalam arti las sedangkan pengertial dalam arti sempit yakni sebbagaimana yang sering kita dengar yaitu “tatausaha” Memang tata usaha merupakan unsure administrasi dalam arti luas secara lengkap yang termasuk unsur-unsru adminstrasi diantaranya[10]
a.       Pengorganisasian
b.      Manajemen
c.       Tata hubungan
d.      Keuangan
e.       Perbekalan
f.       Tatausaha
g.      Perwakilan




[1] J.B. kristiadi administrasi/manajemen pembangunan hal 93
[2] Kamus Besar Bahsa Indonesia online
[3] Dikutip dalam Waluyo manajemen public hal 53
[4] Sahya anggara Ilmu administrasi Negara hal 392
[5] Miftah thoha Perspektif Perilaku Birokrasi hal 12
[6] Terjemahan Weber, Max; A.M. Henderson and Talcott Parsons (1947). The Theory of Social and Economic Organization. Collier Macmillan Publishers, London. hlm. 102
[7] Ulber silalahi studi ilmu adminstrasi 10
[8] Sondang P Siagian filsafat adminsitrasi 5
[9] Hadari nawawi dkk ilmu admiinstrasi hal 28
[10] The Liang gie, adminstrasi perkantoran Modern hal 12

Kamis, 17 November 2016

Teori Hukum (Islam) Progressif.

Dampak dari perkembangan masyarakat yang demikian cepat, problem-problem sosial baru yang lahir disebabkan oleh revolusi industri, perkembangan teknologi dan  modernisasi tidak dapat dihindarkan, hal ini memunculkan tuntutan baru bagi   suatu tatananmasyarakat  modern yang demikian dinamis. Di samping faktor-faktor tersebut di atas, negara juga semakin banyak mencampuri urusan-urusan warga negaranya, hal yang semula tidak menjadi perhatiannya[1].
Perkembangan yang demikian itu membawa serta peranan dan pengaturan melalui hukum dan melontarkan suatu bahan baru untuk digarap oleh teoretisi hukum. Dalam keadaan tersebut akan tampak bahwa cara-cara analisis yang dilakukan melalaui legal positivism (Hukum positif)  dirasakan kekurangannya. Serangkaian aktivitas yang dilakukan  masyarakat  harus ditangani melalaui teori-teori hukum baru yang ditengarai dapat  memberikan solusinya. Dengan lahirnya teori hukum (baru) tersebut diharapkan sgala problem sosial yang muncul ke permukaan dapat terjawab  serta melahirkan keadilan sebagaimana yang diharapkan.  
Hukum tidak sebatas berfungsi meneguhkan pola-pola yang sudah ada, tetapi juga melakukan perubahan ke arah kebutuhan masa depan. Pendekatan-pendekatan para ahli hukum terhadap bidangnya pada abad kesembilanbelas dan diteruskan masuk pada abad keduapuluh semakin banyak memperhatikan kaitan antara hukum dan masyarakat. Hal tersebut didorong pula dengan munculnya suatu cabang ilmu baru, yaitu sosiologi[2].
Pada abad kesembilanbelas terjadi suatu perubahan secara revolusioner yang membawa pengaruh terhadap berbagai bidang, salah satu pengaruhnya adalah di bidang hukum. Pengaruh tersebut terutama mengenai cara pandang hukum yang semula bersifat abstrak dan formal legalistis menuju pada suatu cara pandang yang bersifat yuridis sosiologis atau yuridis empirik. Madzhab sejarah yang dipelopori von Savigny, telah mulai menarik perhatian banyak orang dari suatu analisis hukum yang bersifat abstrak dan ideologic kepada suatu analisis hukum yang difokuskan pada lingkungan sosial yang membentuknya. Pokok pemikiran Savigny adalah hukum merupakan perwujudan dan kesadaran masyarakat (Volksgeist), juga ia berpendapat bahwa semua hukum berasal dan adat istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dan pembentuk undang-undang[3]. Madzab sejarah itu kemudian membuka jalan bagi timbulnya aliran-aliran sociological jurisprudence, yang kemudian juga membawa pengaruh besar terhadap ilmu-ilmu sosial lain, dan proses kelahiran sosiologi, suatu hal yang patut dicatat bahwa aspek penentangan terhadap cara pandang hukum yang legalistis formal juga dapat ditemukan pada pendapat Eugen Ehrlich, salah seorang tokoh aliran sociological jurisprudence, yang mengatakan bahwa ... at the present as well as at any other time, the centre of gravity of legal development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judical decision, but in society it self.[4]
Hukum itu bukanlah suatu hal yang statis, hukum dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perkembangan. Hal ini merupakan suatu konsekuensi logis dikarenakan pertumbuhan dan perkembangan hukum itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hukum yang ada sekarang ini tidak muncul secara tiba-tiba begitu saja, melainkan merupakan hasil dari suatu perkembangan tersendiri. Apabila dikatakan hukum mempunyai perkembangan tersendiri, maka yang dimaksudkan adalah bahwa terdapat hubungan yang erat dan timbal balik antara hukum dengan masyarakat. Hal tersebut memang seharusnya terjadi demikian karena bagaimana pun juga keberadaan hukum terutama ada di masyarakat.
Krabbe, seorang pemikir hukum Belanda memberikan tempat utama kepada perasaan hukum (rechtsgefuhl), perasaan hukum anggota masyarakat. Eugen Ehrlich (1862-1922), ahli hukum dari Austria, merupakan seorang penulis yang bukunya pertama-tama menyandang judul sosiologi hukum mengutarakan sebagai berikut[5]
            Bahwa hukum positif baru akan efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat.
Sering dikatakan bahwa suatu buku harus ditulis dengan suatu cara yang memungkinkan isinya untuk diringkas dalam suatu kalimat. Apabila buku ini harus diuji dengan persyaratan tersebut, kalimat itu bisa berbunyi sebagai berikut: Pada waktu sekarang, seperti juga pada waktu yang lain, pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak pada ilmu hukum, juga perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, juga tidak pada keputusan hakim, tetapi di dalam masyarakat sendiri.
Persoalan-persoalan tentang hukum, pada saat ini tidak lagi merupakan persoalan tentang legalitas formal, tentang penafsiran serta penerapan pasal-pasal peraturan perundang-undangan secara semestinya, melainkan bergerak ke arah penggunaan hukum sebagai sarana untuk turut membentuk tata kehidupan yang baru atau sesuai dengan kondisi saat itu. Hanya persoalannya, orang/ masyarakat masih terbentuk cara berpikir yang legal-positifistik. Bahkan pendidikan tinggi hukum pun memberi andil besar terhadap cara berpikir demikian melalui proses pengajarannya[6].
Sehubungan dengan hal di atas, pada kenyataannya dapat dilihat bahwa terutama pada saat ini terdapat perkembangan adanya suatu perbedaan pandangan tentang hukum, sistem hukum, dan pembinaan atau pendidikan hukum sebagai suatu alas untuk mencapai tujuan-tujuan sosial yang bervariasi[7]. Hukum dan masyarakat memiliki keterkaitan yang erat, hal ini bukan saja dikarenakan hukum merupakan suatu produk sosial melainkan juga hukum memiliki tujuan untuk menciptakan masyarakat serta pembangunan yang adil bagi masyarakat yang bersangkutan. Suatu hal yang pada umumnya sering tenjadi dalam suatu masa transisi atau penubahan, hal yang biasa terjadi adalah terjadinya kepincangan-kepincangan antara tuntutan keadaan dan pelayanan atau penanganan yang dapat diberikan hukum. Studi hukum di Indonesia, sebagian besar masih berkisar pada pengkajian terhadap hukum sebagai suatu sistem yang dipahamkan secara logik dan konsisten. Dengan perkataan lain, pengajaran hukum lebih difokuskan pada aspek preskriptifnya, yaitu dengan memberikan pengetahuan tentang apa hukumnya bagi suatu kejadian tertentu serta bagaimana mengoperasikan peraturan-peraturan hukum tersebut. Hal tersebut memang dapat dibenarkan karena tujuan dan pengajaran ilmu hukum adalah mendidik atau memberikan pengetahuan tentang hukum itu sendiri, sehingga seorang sarjana hukum dapat memecahkan berbagai masalah-masalah hukum yang dihadapinya.
Namun di sisi lain, kecuali tampak aspek normatifnya, hukum juga memiliki sisi yang lain, yaitu dalam realitanya. Yang dimaksud dengan hukum dalam realitanya adalah bukan kenyataan dalam bentuk pasal-pasal di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, melainkan sebagaimana hukum itu dijalankan sehari-hari. Bila demikian, seseorang perlu mencoba untuk mengamati dan mempelajari hukum dalam realitanya. Dengan demikian orang tersebut harus keluar dan batas peraturan hukum dan mengamati praktik-hukum atau hukum sebagaimana dijalankan oleh orang-orang dalam masyarakat[8]. Pada kenyataannya, tuntutan keadaan sebagaimana dikemukakan di atas menghendaki agar hukum tersebut dipahamkan sebagai saluran-saluran untuk merumuskan kebijakan policy[9], dalam bidang-bidang ekonomi, sosial, politik dan sebagainya[10]. Oleh karena itu studi hukum sekarang seolah-olah ditarik dari tempatnya yang sedikit banyak terisolasi ke tengah-tengah persoalan yang hidup dalam masyarakat. Ilmu hukum yang hanya dilakukan secara normatif, pada tingkat tertentu, saat ini sudah tidak memadai lagi. ilmu hukum harus memperdalam dan memperluas cakrawalanya dalam menganalisis suatu masalah. Kini hukum tidak sebatas rule and logic, melainkan social structure, behaviour[11].
Pandangan aliran-aliran hukum yang tergolong menentang cara pandang hukum secara formal-legalistic cenderung mendorong para ahli hukum untuk mendekatkan diri pada kenyataan-kenyataan sosial. Di samping itu, ilmu hukum juga didorong untuk lebih memperhatikan keterkaitan antara hukum dengan kenyataan-kenyataan sosial. Maksudnya adalah bahwa desakan untuk menentukan secara sistematis tentang bagaimana hubungan antara sistem hukum dengan kenyataan sosial semakin terasa manakala kenyataannya menunjukkan betapa hukum tersebut semakin memegang peranan sebagai kerangka kehidupan sosial masyarakat modern[12].
Secara illustrative perspektif sosiolgical jurisprudency dapat dilihat dalam sebagai berikut[13]:

Atas dasar bagan tersebut di atas, dapat diungkapkan bahwa pada masyarakat segmental/primitif, peraturan-peraturan hukumnya mengandung sanksi represif, sedangkan pada masyarakat yang terdapat pembagian kerja, hukumnya lebih mengandung sanksi restitutif.
A. A. G. Peters dan Kusrini Siswosoebroto, mengemukakan bahwa hukum dengan sanksi represif, memperoleh pernyataan hukumnya yang utama dalam kejahatan dan hukuman. Pelanggaran peraturan-peraturan sosial berarti kejahatan, dan ini menimbulkan hukuman. Fungsi hukuman ialah memberikan pernyataan simbolis kepada perasaan kegusaran moral yang disebabkan oleh kejahatan[14].
Hubungan hukum dan solidaritas organis lebih kompleks lagi. Lembaga hukum yang mengatakan dengan jelas moralitas sosial yang mencirikan solidariti organis ialah kontrak dengan sanksi-sanksi restitutif sebagai sarana untuk melaksanakannya[15].
Alant Hunt, mengemukakan bahwa hukum restitutif berkenaan dengan penyelesaian hubungan-hubungan sosial yang muncul dari perbedaan-perbedaan dalam hubungan-hubungan kerja sosial, dan hukum restitutif hanya terdiri dari” The return  of thing as they were, dalam membentuk kembali hubungan yang sukar ke arah yang normal[16]. Penegakan hukum Pemerintahan daerah yang hanya mengandalkan teori hukum legisme-positivisme tampaknya tidak akan mampu mengapresiasi perkembangan zaman dan tradisi baru cara berhukumnya masyarakat modern-kontemporer. Model berhukum perspekif legisme-positisme hanya menghadirkan konstruksi pemekiran yang ekslusif. Karenannya menurut  Suteki bahwa untuk menghadirkan gambar hukum yang utuh  di tengah masyaraakat mau tidak mau  kita dengan berani harus mempelajari hukum dan cara berhukum kita dengan berani keluar dari aturan tradisi penegakan hukum yang hanya bersandarkan kepada peraturan perundang-undangan[17]. Lebih lanjut Suteki mengatakan Hukum bukan semata-mata perundang-undangan yang berada dalam ruang  hampa yang steriil dari aspek-aspek non hukum. Hukum harus dilihat dari perspektif sosial, karena hukum bukan hanya rule, melainkan juga behavior, hukum mesti progresif menyongsong perubahan sosial dengan tetap berupaya mengahdirkan keadilan[18]. Berkaitan dengan deskripsi tersebut penulis memandang perlu untuk mengemukakan tentang hakikat hukum progressif.
Hukum progressif bertitik tolak dari dua asumsi, yakni Pertama, Hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya[19]. Pemikiran Rahardjo tersebut didasarkan atas elaborasinya terhadap pemikiran hukum yang telah bergeser jauh dari subsansi ke adilan kea rah hukum yang bersifat teknologis[20]. Dalam konteks hukum modern tersebut eksistensi hukum alih-alih menciptakan keadilan substansi yang ada adalah kontradiktif antara satu dengan lainnya.
Asumsi Kedua, Hukum bukan merupakan  institusi yang mutlak dan final karena hukum  selalu berada dalam  proses untuk terus menjadi (law as process, law in the making)[21]. Secara detail Suteki menjelaskan bahwa dalam prespektif hukum progresif manusia berada di atas hukum, hukum hanya berfungsi sebagai sarana untuk menjamin dan menjaga berbagai kebutuhan manusia, hukum tidak lagi dipandang sebagai suatu dokumen yang absolute dan ada secara otonom. Hukum progresif yang berorientasi pada manusia  membawa konsekwensi pada adana kreativitas. Menurut Suteki, kreativitas tersebut diarahkan pada dua poin penting, yakni, pertama; untuk mengatasi ketertinggalan hukum dan mengatasi ketimpangan hukum, Kedua, Untuk  membuat terobosan-terobosan hukum kalau perlu melakukan rule breaking[22].
 Berkaitan dengan model penegakan hukum perspektif hukum progresif dalam konteks Negara hukum Indonesia hendaknya kembali kepada paradigm nilai-nilai filosofis yang terdapat dalam Pancasila. Mahfud MD mengatakan, bahwa dalam pembangunan dan penegakan hukum seyogyanya memperhatikan empat kaidah penuntun yakni:
1.Hukum harus melindungi segenap bangsa dan menjamin keuthan bangsa dan karenanya tidak boleh ada hukum yang menanamkan benih disintegrasi.
2. Hukum harus menjamin keadilan sosial dengan memberikan proteksi khusus bagi golongan lemah agar tidak tereksplitasi dalam persaingan bebas melawan golongan yang kuat.
3. Hukum harus dibangun secara demokratis sekaligus membangun demokrasi sejalan dengan nomokrasi(Negara hukum).
4. Hukum tidak boleh diskriminatif  berdasarkan ikatan primordial apapun dan harus mendorong terciptanya toleransi  beragama berdasarkan kemanusiaan yang beradab[23].
Berdasarkan pemikiran”Politik Hukum “ yang dikonstruksi oleh Mahfud MD tersebut Suteki  berpendapat bahwa  dalam penegakan hukum dapat melakukan non enforcement of law baik dengan cara sporadic enfocement ataupun dengan cara  partial enforcement apabila dalam implementasinya peraturan hukum dan penerapannya bertentangan dengan keempat kaidah penuntun tersebu. Artinya apabla pnerapan hukum  tidak menunjukan  rasa keadilan  dan hati nurani , maka secara prinsip penegak hukum dapat  melakukan non enforcement of law dengan kata lain peraturan tersebut ditingalkan.
Untuk mengetahui lebih jauh karakteristik hukum progressif di bawah ini penulis beberapa poin penting arah pemikiran hukum progresif yang telah dielaborasi oleh Suteki sebagai berikut:
1. Hukum progresif itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. pada hakikatnya setiap manusia itu baik, sehingga sifat ini layak menjadi modal dalam membangun kehidupan berhukumnya.  Hukum bukan raja (segalanya), tetapi sekadar alat bagi manusia untuk memberi rahmat kepada dunia dan kemanusiaan[24]. Hukum tidak ada untuk dirinya sendiri  melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka, setiap ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditunjau serta diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukan kedalam skema hukum[25]. Oleh karena Pak Tjip juga menulis tentang perlunya menempatkan system hukum dalam alur besar deep-ecology[26], maka kata-kata kunci diatas seyogyanya juga boleh dieja sebagai hukum untuk konteks kehidupan sejagat, dimana manusia bukan laig titik sentral satu-satunya.
2. Hukum progresif itu harus pro rakyat dan pro keadilan. Hukum itu harus berpihak kepada rakyat  keadilan harus didudukan diatas peraturan. Para penegak hukum  harus berani menerobos kekakuan teks peraturan diistilahkan sebagai ‘mobilisasi hukum[27].juga memang teks mencederai rasa keadilan rakyat. Prinsip pro-rakyat  dan pro-keadilan  ini merupakan ukuran-ukuran untuk menghindari agar progresivisme ini tidak mengalami kemerossotan, penyelewengan penyalahgunaan, dan hal negative lainya.
3. Hukum progresif bertujuan mengantarkan manusia kepada kesejahteraan dan kebahagiaan. Hukum harus memiliki tujuan lebih jauh daripada yang diajukan oleh falsafah liberal. Pada falsafah pascaliberal, hukum harus mensejahterakan dan membahagiakan. Hal ini juga sejalan dengan cara pandang orang Timur yang memberikan pengutamaan pada kebahagiaan[28]
4. Hukum progresif selalu dalam proses menjadi (law as a process law in the makin). Hukum bukan institusi yang final, melainkan ditentukan oleh kemampuanya mengabdi kepada manusia. Ia terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju  kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Setiap tahap dalam perjalanan hukum adalah putusan-putusan  yang dibuat guna mencapai ideal hukum, baik yang dilakukan legislative, yudikatif, maupun eksekutif. Setiap keputusan bersifat terminal menuju pada putusan berikutnya yang lebih baik. Hukum tidak pernah bias meminggirkan sama sekali kekuatan-kekuatan otonom masyarakat untuk mengatur ketertibanya sendiri kekuatan-keuatan tersebut akan selalu ada dalam bentuk laten. Pada saat tertentu ia akan muncul dan akan mengmbil alih pekerjaan yang tidak diselesaikan dengan baik oleh hukm Negara. Maka, sebaiknya hukum itu dibiarkan mengalir saja[29].
5. Hukum progresif menekankan hidup baik sebagai dasar hukum yang baik. Dasar hukum terdapat pada perilaku bangsanya sendiri karena perilaku bangsa itulah yang menentukan kualitas berhukum bangsa tersebut.  Fundamen hukum tidak terletak pada bahan hukum (legal stuff) system hukum, berpikir hukum, dan sebagainya, melainkan lebih kepada manusia atau perilaku manusia. Ditangan perilaku buruk system hukum akan rusak tetapi tidak ditangan orang-orang berperilaku baik[30].
6. Hukum progresif memiliki tipe responsive. Dalam tipe responsive hukum akan selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan diluar narasi tekstual hukum itu sendiri yang disebut oleh nonet dan Selznick[31] sebagai the sovereigninty of purpose. Pendapat ini sekaligus mengkiritik doktrin due process of law. Tipe responsive menolak otonomi hukum  yang bersifat final  dan tidak dapat digugat[32].
7. Hukum progresif mendorong peran public . mengingat hukum memiliki kemampuan yang terbatas, maka mempercayakan segala sesuatu kepada kekuatan hukum adalah sikap yang tidak realistis dan keliru. Di sisi lain, masyarakat ternyata memiliki keuatan otonom untuk melindungi dan menata dirinya sendiri. Kekuatan ini untuk sementara tenggelam di bawah dominasi hukum modern yang notabene adalah hukum Negara. Untuk itu, hkum progresif sepakat memoblisasi kekuatan otonom masyarakat (Mendorong peran public)[33].
8. Hukum progresif membangun Negara hukum yang berhati nurani. Dalam bernegara hukum, yang utama adalah kultur, dekultural Primacy. Kultur yang dimaksud adaalah kultur pembahagiaan rakyat keadaan tersebut dapat dicapai apabilai kita tidak berkuta pada the legal structur of states melainkan  harus mengutamakan  a states with conscinenese. Dalam bentuk pertanyaan, hal tersebut akan berbnyi:” Bernegara hkum untuk apa?” dan dijawab dengan;” bernegara untuk membahagiakan rakyat”[34]
9. Hukum progresif dijalankan dengan kecerdasan spiritual, kecerdasan spiritual tidak ingin dibatasi patokan (Rule Bound), juga tidak hanya besifat kontekstual, tetapi inging keluar dari situasi yang ada dalam usaha mencari kebenaran makana atau nilai yang lebih dalam (sic penulis-The Deep Values)[35].
10. Hukum progresif merobohkan, mengganti, dan membebaskan. Hukum progresif menolak Status Quo dan Submissive. Sikap Status qou menyebabkan kita tidak berani melakukan perubahan dan menganggap doktrin sebagai suatu yang mutlak untuk dilaksanakan. Sikap demikian hanya merujuk pada maxim’ rakyat untuk hukum [36].






[1] Pergeseran paradigm tersebut hemat penulis dikarenakan adanya pergeseran paradigm plitik yang semula berorientasi pada Negara hkum an-sich, pada saat ini bergeser pada Negara kesejahtraan “Welfare State.
[2] R. Otje Salman:. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Bdg. Alumni.1989;2
[3] Filsafat Hukum Madzhab Sejarah di Inonesia di adopsi oleh Soepomo. Ter Haar. Lihat . Lili Rasyidi dan Thania Rasyidi;Dasar-dasar Filafat dan Teori Hukum. Bdg. Citra Aditia, 2004;64-65.
[4] R. Otje Op Cit hal 1
[5] Satjipto Rahardjo, dalam Otje Salman hal 3.
[6] Satjipto Rahardjo: Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia. Yogyakarta. Genta Publishng,2009;39-56.
[7] Perbedaan Paradigma Pendidikan Hukum antara Recht-Dogmatic dengan Sosiological Jurisprudence tampak dari karya Buku Satjipto dan Peter Marzuki Mahmud.Lihat: Titon Slamet Kurnia: Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum dan Penelitian Hkum di Indonesia.Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2013;16-22. Lihat Juga. Peter Marzuki dalam Pengantar Ilmu Hukum.Jkt. Prenada.2013;9.
[8] Sidarta dan Bernard L Tanya: Hukum Dalam Ranah Masyarakat. Yogyakarta, Genta Publishing,2009;58.
[9] Pendapat yan sama dikemkakan leh Soetandiyo Soedibyo; Hukum Dalam Masyarakat, Malang. Bayu Media, 2009;17.
[10] Tentang Hukum Perspektif Ekonom dapat dilihat dalam karya Jhoni Ibrahim:Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum.Surabaya. Putra Media Nusantara,2009;25.
[11] Penegakan hukum Perspektif teori Behaviorilm dapat dilihat dalam bku karya Anonius Sudiman: Hat Nurani Hakim dan Putusannya. Bdg. Citra Aditya,2007.27-43. Dalam buku tersebut Antonius mengkaji prilaku hakim, terutama Hakim Bismar Siregar yang berbeda dengan tradisi pemikiran hakim lainnya dalam memutus perkara. Esensi dari studi tersebut mengatakan bahwa hakim secara empiris tergantung dai berbagai latar belakang pendidikan, sosial dan setting politiknya. Pada sisi lain Antonius juga mengatakan bahwa  hakim dalam memutus perkara perlu mengadakan penafsiran secara ekstensif..
[12]  Satipto dalam Otje Op Cit hal 4. Lihat pula Sabian Ustman: Living Law”  Yogyakarta,2008;53
[13] Taufik Abdullah, dalam  Muslan Abd Rahman: Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum.Malang. UMM Pers.2009;17.
[14] A.A.G Peters dan Kursini Siswosoebroto:Hukum dan Perkembangan Sosial.Jkt. Pustaka Sinar Harapan.1988;34..
[15] Ibid.
[16] Alan Hunt: Sociological Movement of law. Philadelpia.Temple University Pers.1978;68. 
[17] Suteki.Rekam Jejak Pemikiran Hukum Progressis Satjipto Rahardjo,Dalam satjipto Rahardjo dan hukum Progresif. .Jkt. Epistema,2011;45.
[18] Ibid.
[19] Satjpto Rahardjo.Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia, Yogyakarta. Genta Publishing,2009;65-68.
[20] Op Cit hal 57-59.
[21] Diktip dari Suteki hal 34.
[22] Ibid hal 34.
[23] Moh. Mahfud MD. Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, Jkt. Pustaka LP3ES,2006;56.
[24] Satjipto Rahardjo, dikutip dalam  Suteki; 55.
[25] Ibid
[26] Ibid .
[27] Ibid hal 56
[28] Rahardjo. Hukum dalam Jagad Ketertiban, Jkt. UKI Pers,2006;9-15.
[29] Rahardjo,  Membedah Hukum Progresif, Jkt. Kompas Book, 2007;24.
[30] Rahardjo dalam Suteki hal  57.
[31] Philip Nonet dan Philip Selznick, Bdg. Nusa Media, 2011;94.
[32] Dalam Suteki Op Cit hal  57.
[33] Satjipto Rahardjo; Hukum dalam jagat Ketertiban….. Op Cit hal 75-81.
[34] Stajipto.; Hukum Progresif:” sebuah sintesa Hukum Indonesia, Jkt. Jkt. Genta Publishing, 2009;67.
[35] Satjipto Rahardjo Loc  Cit hal 17.
[36] Dikutip dari Suteki Op Cit hal 58.